Semedi, meditasi, atau bertapa, merupakan sebuah praktek yang semakin populer bagi masyarakat modern dewasa ini. Tradisi semedi awalnya berasal dari India dan meluas sebagai alternatif penenangan diri bagi masyarakat khususnya di Barat. Terdapat banyak usaha untuk memahami semedi dari perspektif sains ketika fenomena ini memasuki dunia barat yang rasional. Sebagai sebuah perilaku, ada dampak positif, dan ada pula dampak negatif dari semedi. Berikut tinjauan kritis mengenai dampak semedi bagi manusia, khususnya masyarakat modern.
Tinjauan dasar tentang Meditasi
Meditasi
memiliki banyak variasi. Pada dasarnya ia adalah perilaku berdiam diri
dalam postur tertentu, umumnya duduk, dalam waktu tertentu yang cukup
panjang. Tujuannya juga dapat bervariasi namun umumnya adalah
meningkatkan kualitas diri pelaku, entah itu kewaspadaan, menyatu dengan
alam, kedamaian diri, penghilangan nafsu, atau menahan diri untuk
melakukan tindakan tertentu yang tidak diinginkan. Tinjauan positif
negatif berikut tidak dapat digeneralisir untuk semua semedi. Pembaca
harus memahami konteks semedi jenis apa yang bisa memunculkan dampak
positif atau negatif yang dimaksud.
Dampak Positif
Meditasi,
diwariskan dari tradisi Buddha, saat ini mulai digunakan dalam
psikologi Barat untuk mengangkat berbagai kondisi mental dan fisik.
Penelitian ilmiah semedi umumnya ada dalam payung psikologi positif.
Penelitian telah dilakukan selama 20 atau 30 tahun dan semakin meningkat
dalam dekade terakhir. Tahun 2011, National Center for Complementary
and Alternative Medicine (NCCAM) NIH melaporkan temuan studi dimana
citra resonansi magnetik otak dari 16 partisipan 2 minggu sesudah dan
setelah meditasi yang mengikuti program meditasi diambil oleh para
peneliti dari Rumah Sakit Umum Massachusetts, Lembaga Citra Syaraf
Bender di Jerman, dan Sekolah Medis Universitas Massachusetts.
Penelitian ini menyimpulkan kalau:
�temuan ini mewakili mekanisme otak yang berasosiasi dengan perbaikan kesehatan mental�
Sebuah studi bulan Januari 2011 di jurnal Psychiatry Research: Neuroimaging,
berdasarkan pencitraan resonansi magnetik (MRI) dari partisipan
Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR), menyatakan kalau �partisipasi
dalam MBSR berasosiasi dengan perubahan konsentrasi materi abu-abu di
daerah otak yang bertanggung jawab atas proses belajar dan mengingat, pengaturan emosi, proses referensi diri, dan pengambilan sudut pandang.�
Dampak Negatif Meditasi Berlebih
Depersonalisasi
Terdapat
jenis meditasi khusus yang disebut meditasi disosiatif. Meditasi
disosiatif adalah meditasi yang bertujuan untuk memisahkan individu
sebagai pengamat fenomena ketimbang melibatkan individu ke dalam sebuah
aktivitas. Biasanya meditasi semacam ini disebut meditasi pembebasan
dengan maksud membebaskan jiwa pelaku dari sebuah pengikat, misalnya
nafsu-nafsu jasmaniah.
Meditasi model
ini berfokus pada penghapsan ego atau self dan menjadi Semesta, atau
Diri secara universal. Dua ribu tahun praktek ini dilakukan oleh
masyarakat India. Praktek spiritual semacam ini telah begitu mengakar
sehingga mereka lebih memandang dunia luar hanya sejauh ia ikut campur
dalam hidup mereka secara langsung. Hal ini berakibat pada rendahnya kesadaran
adanya subjek lain, sampai pada level hak dan tanggung jawab warga
negara secara politik, sebuah mentalitas yang menyulitkan demokrasi dan
memudahkan rezim otoriter berkuasa di level masyarakat.
Dalam
psikologi, kepribadian semacam ini disebut kepribadian disosiatif.
Gejala disosiatif adalah kondisi dimana seseorang merasa terlepas dari
diri sendiri. Ia akan merasakan kalau dirinya atau lingkungannya sebagai
sesuatu yang tidak nyata. Ia akan merasakan tidak memiliki kontrol atas
diri sendiri. Dalam pikirannya, dunia hanyalah sebuah perasaan yang
muncul dari dalam dirinya sendiri.
Pertanyaannya
menjadi: apakah saya merupakan masalah bagi tubuh ini, atau apakah
tubuh ini merupakan masalah bagi saya? Pada tahap ekstrim, hal ini
membawa pada bunuh diri dengan alasan membebaskan diri dari �belenggu�
jasad.
Meditasi disosiatif bukanlah
sebuah solusi yang masuk akal untuk menghadapi masalah yang dialami
individu di masyarakat. Masalah penderitaan sosial adalah masalah yang
nyata dan karenanya keterlibatan individu dalam masyarakat sangat
dibutuhkan.
Hipoksia
Meditasi
biasanya dilakukan pada ruangan yang sepi dan sedikit mungkin derau
dari luar. Kita memejamkan mata sehingga melihat langsung bintik-bintik
reseptor cahaya di retina (derau seperti di layar televisi tanpa
siaran). Dengan tindakan semacam ini, pikiran akan lebih mudah berfokus
pada sensasi ketubuhan. Napas juga diatur sedemikian oleh pikiran
(bukannya langsung tanpa sadar oleh otak). Napas yang diatur bukan hanya
mengalihkan pikiran pada bagaimana bernapas yang baik namun juga
membawa pada hipoksia. Hipoksia adalah kondisi dimana pasokan oksigen
menjadi rendah di otak. Dalam kondisi hipoksia, pikiran menjadi sangat
tenang dan napas menjadi sangat lembut. Semakin rendahnya pasokan
oksigen ke otak, aktivitas otakpun semakin menurun. Jika pelaku
merasakan kedamaian di saat ini, ini bukanlah kedamaian sesungguhnya
secara psikis namun kedamaian buatan secara biologis.
Berfokus
pada napas dan sensasi diri membuat pikiran tenang yang ditandai dengan
hipoksia. Dengan adanya ketenangan pikiran, pelaku dapat berkonsentrasi
pada merasakan sensasi ketubuhan. Goenka misalnya, mendaku kalau dalam
kondisi ini, kita akan merasakan seluruh gerak individual molekul dan
atom di tubuh kita sebagai tanda kita mulai mampu memisahkan antara jiwa
dan raga. Hal ini tidak benar. Sensasi bergetar ketika berada dalam
kondisi hipoksia disebabkan oleh kesemutan, hanya saja kesemutan ini
berasal dari syaraf di dalam tubuh kita sendiri yang kekurangan aliran
darah dan oksigen.
Lalu apa
masalahnya dengan hipoksia? Tentunya ketidaksiapan tubuh menghadapi
kejutan. Seperti halnya mata yang tertutup lama tidak siap menghadapi
cahaya terang, begitu juga tubuh yang terdiam pada waktu lama tidak siap
untuk melakukan gerakan yang secara normal dapat kita lakukan. Jika
dipaksakan, kita bisa mendapatkan serangan jantung atau setidaknya
epilepsi.
Mengganggu Sistem Syaraf Otonom
Reaktivitas otak pada sensasi inderawi merupakan hasil evolusi
kita untuk bertahan hidup. Segera ketika tubuh merasakan sakit atau
panas atau dingin atau kondisi berbahaya lainnya, otak memberi sinyal
pada tubuh agar bereaksi sedemikian hingga menjauh dari kondisi bahaya
tersebut. Ketika kita bersemedi dalam postur yang sama terus menerus
misalnya, otak menganggap hal tersebut berbahaya bagi peredaran darah
atau menekan beberapa syaraf penting. Karena alasan ini, otak menyuruh
tubuh untuk berganti posisi.
Tindakan
menahan diri dari keinginan untuk berganti posisi dengan alasan melatih
diri agar tidak terpengaruh rangsangan dunia luar tubuh menjadi sebuah
hal yang berbahaya. Memang beberapa reaksi tubuh dapat dipandang sebagai
reaksi yang berbahaya bagi kehidupan sosial, misalnya marah, takut,
egois, nafsu, agresi, stress, hiperaktivitas. Namun tubuh memiliki
sistem otonomnya sendiri yang bekerja otomatis menyesuaikan berbagai
banyak komponen syaraf yang mungkin tak diperhitungkan kita ketika
membawanya ke ranah sadar. Ada alasan mengapa detak jantung berada di sistem syaraf otonom bukannya diatur secara sadar oleh kita. Jika hal ini diganggu, bahaya serangan jantung dapat menjadi nyata.
Ketenangan Pikiran
Mungkin
anda heran mengapa ketenangan pikiran dipandang sebagai dampak negatif.
Hal ini memang cukup subjektif tetapi ketika kita bawa pada masyarakat
modern sekarang, pikiran yang tidak tenang sungguh merupakan hal
penting. Pikiran yang tidak tenang ditandai oleh banyaknya ucapan-ucapan
saling tumpang tindih dalam otak. Dalam sekian detik, otak anda
memikirkan tentang hal ini, dan sesaat kemudian pindah ke hal lain.
Dalam satu menit, anda telah memikirkan banyak hal seperti masa kecil,
kejadian tadi pagi, masa datang seperti apa, dan sebagainya, semua
seperti potongan-potongan halaman dari ratusan buku yang bercerai berai
dan disatukan secara acak dalam satu buku. Hal ini juga yang membuat
�membaca pikiran� adalah sebuah tindakan yang hampir mustahil dilakukan
oleh orang lain pada seseorang (profesor Xavier dalam X-Men misalnya).
Secara
evolusioner, kompleksitas hidup manusia memang menuntut pola berpikir
acak demikian. Otak hanya memikirkan apa yang dianggap bernilai. Adanya
banyak pikiran acak bermakna ada banyak hal bernilai dalam pikiran yang
harus diproses otak. Hal ini membawa pada satu kelebihan dari berpikir
tidak tenang:
Ia merupakan sumber dari pemikiran kreatif.
Dari sekian banyak hal tidak berhubungan yang dipikirkan seseorang
dalam satu menit akan ada satu hubungan mendadak tak terduga. Ini sebuah
pemikiran baru dan apabila individu memutuskan untuk memikirkannya
lebih jauh, hal tersebut dapat menjadi hal yang mengejutkan (baik
ataupun buruk) seperti penemuan solusi baru atas masalah penting atau
penemuan ide untuk menjadi kaya. Dalam dunia penuh persaingan di masa
modern, pemikiran kreatif sangat dibutuhkan.
Hilangnya Penghargaan Pada Estetika
Dalam
meditasi jenis tertentu, pelaku menjadi sangat terfokus pada dirinya
sendiri. Dunia luar menjadi sesuatu yang sekunder. Akibatnya adalah
individu menjadi egois sejati. Ia tidak memandang pemandangan alam,
bintang-bintang, keluarga, seks, tetesan hujan, bunga-bunga, dan deburan
ombak sebagai sesuatu yang indah. Mereka adalah nafsu. Pada taraf
tertentu, mereka bahkan tiba pada kesimpulan kalau dunia ini hanya
ilusi. Walaupun hal tersebut merupakan perdebatan dalam ranah filsafat,
satu hal yang pasti adalah hilangnya sistem nilai yang mengikat
masyarakat.
Kesimpulan
Meditasi
memiliki manfaat cukup baik bagi jiwa manusia, tetapi jika dilakukan
secara berlebih, hasilnya justru berbalik, bukan hanya berbahaya bagi
jiwa tetapi juga bagi jasad. Beberapa bentuk meditasi bahkan bisa
digantikan dengan bentuk penajaman konsentrasi lainnya. Diperlukan
sebuah kebijaksanaan untuk mensikapi segala klaim yang datang dari jasa
meditasi agar keinginan kita untuk menjadi lebih baik dapat
terfasilitasi.
Referensi
- H�lzel BK, Carmody J, Vangel M, Congleton C, Yerramsetti SM, Gard T, Lazar SW. �Mindfulness practice leads to increases in regional brain gray matter density.�. Psychiatry Res.. 2011 Jan 30.
- Persinger, M.A. (1993). �Transcendental meditation and general meditation are associated with enhanced complex partial epileptic-like signs: evidence for �cognitive� kindling?� Perceptual and Motor Skills, 76: 168-170
- Seaberg, M. �Can Meditation Cure Disease?� The Daily Beast
- Singh, H. 2007. A Critique of Vipassana Meditation as taught by Mr S N Goenka.
- DSM-IV: Depersonalization Disorder Sumber: http://www.faktailmiah.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar