CERPEN

Sepantasnya jika sebuah nama disematkan kepada orok agar menjadi penunjuk harapan mulia. Setelah remaja banyak hal yang tidak dimengerti dan membuatnya bertanya-tanya, yang paling mengusik kenapa dia diberi nama Koprol. Beberapa sering kali bertanya justru yang banyak diterima semprotan dan umpatan ayahnya. Untuk kesekian kali ia pun bertanya kepada perempuan yang telah melahirkannya. Bahkan ibunya juga membisu seperti pur yang dipatok ayam, lenyap tak bersuara. Tak ada yang memberitahu alasan orang yang memberinya nama tersebut.
Nampak nyata lambaian bayang daun yang terbelai-belai angin, seperti ritme lambai tangan gadis yang sedang menikmati pergumulan dengan pria...
>> Teruskan membaca  
 

Di awal ini, tahun membentuk lingkaran besar salju prahara negeri, kian membeku. Bersama ledeng pemerintahan yang mengemasi air birokrasi, terangkut juga batu-batu es masalah yang terus mengeras, jika pun lekas mencair pasti membanjiri, kerunyaman negeri. Marleta mengunci neraca pikiran, ia tak hendak lagi menimbang kepelikan yang dibebankan dari segala penjuru nusantara, biarkan negeri ini pontang-panting.
Berkelimpungan di atas dipannya yang kering sambil mengamati merk atap yang dipasang oleh angsuran orang tuanya, ya, atap dengan merk yang saling berbeda. Ia menaksir dulu ayahnya adalah seorang veteran yang sekarang hanya gigit jari tanpa perhatian pemerintah. Sedangkan ibunya hanya pekerja serabutan, kadang...
>> Teruskan membaca

“tutur tinular: siji ditutur, siji dilaku, siji ditular”
“apa maksud kalimat itu, Pak?”

“sadar ataupun tidak sebagai manusia kita adalah makhluk peniru.  Banyak hal yang kita contoh dan kita ambil pelajaran dari orang-orang sebelum kita. Bisa jadi itu warisan yang menguntungkan, atau mungkin kurang menguntungkan, bahkan  bisa-bisa merugikan… semua… yang.. diu-sa-ha-kan”

            Belum rampung mendengar penjelasan yang tak dapat ditangkap, lamat-lamat suara gurunya semakin menuju patahan-patahan suara mendekati volume 0.5 MHz digantikan dengan  bisikan gemuruh dari dinding ruang kelasnya. Gemuruh yang menyadap ingatannya...

>> Teruskan membaca
 

“ Makanya Pak. Aku akan menceritakannya sekarang”.

“ Kamu ini maunya apa tho Nem? Martinah itu sepupumu sendiri. Masa’ kamu mau bilang dia ngingu  anjing? Bilangnya ke pakdhe Ngadimin lagi. Itu dosanya numpuk-numpuk Nduk. Pertama, kowe fitnah sepupumu sendiri, kedua,  kowe nyakiti hati Martinah, parahnya lagi, kowe bilang fitnah itu ke pakdhemu Ngadimin, bapaknya Martinah. Apa kau tak berpikir itu akan memperunyam hubungan Bapakmu ini sama Pakdhemu, kamu tahu sendiri to Nem, bapakmu ini banyak hutang sama Pakdhe Ngadimin."

“Itu dia masalahnya Pak, Bapak ingat tho Rasidi adik Tinem? Dia mati tiba-tiba Pak. Bapak ingat juga simbok yang setelah bantu-bantu di rumah itu mati juga?sekarang kaki Bapak tiba-tiba saja membengkak tanpa sebab!”
“Jangan seperti orang Jawa yang sangat suka menerapkan gathukkologi*. Kaki bengkak ini karena Bapak memang sudah tua Tinem. Tidak ada hubungannya dengan dedemit-dedemit yang katamu dihimpun keluarga pakdhe Ngadimin itu. Terkait...
>> Teruskan membaca


Berbagi pagi di ranjang setelah berdua kunjungi malam yang gusar. Meluncurkan adukan dalam secangkir. Menyingkap tirai lalu duduk menyapu mega timur. Mentari menembuskan sunting tembakan cahaya berbagai kaliber. Mengganti tanda untuk padamkan obor-obor.
Koran-koran tahun lalu, pungutan sisa pelanggan tukang sampah. Dibaca dari balik kaca mata. Dengan pose tumpang kaki semanis tehnya. Sambil memantik api nyaris membakar ujung bibir. Dibolak-balik mencari berita korban mutilasi. Menjelajahi motif pelaku. Rumor disana mengatakan dipicu pengkhianatan kekasih. Pada sudut pandang ini, kekasih yang tak lebih dari budak pemuas hasrat. Beberapa malam setalah laut-laut memuncakkan ombak malam purnama. Di garis pantai pembunuh itu menelanjangi kekasih yang membuatnya patah hati. Dan Mar tetap Mar yang dulu, berdarah panas. Terbawa emosi merasuki ...

Tidak ada komentar: