Kamis, 10 Oktober 2013

SISIK MELIK MARTINEM

Oleh: Lia Sholicha Amien
*****
“ Makanya Pak. Aku akan menceritakannya sekarang”.
“ Kamu ini maunya apa tho Nem? Martinah itu sepupumu sendiri. Masa’ kamu mau bilang dia ngingu  anjing? Bilangnya ke pakdhe Ngadimin lagi. Itu dosanya numpuk-numpuk Nduk. Pertama, kowe fitnah sepupumu sendiri, kedua,  kowe nyakiti hati Martinah, parahnya lagi, kowe bilang fitnah itu ke pakdhemu Ngadimin, bapaknya Martinah. Apa kau tak berpikir itu akan memperunyam hubungan Bapakmu ini sama Pakdhemu, kamu tahu sendiri to Nem, bapakmu ini banyak hutang sama Pakdhe Ngadimin."
“Itu dia masalahnya Pak, Bapak ingat tho Rasidi adik Tinem? Dia mati tiba-tiba Pak. Bapak ingat juga simbok yang setelah bantu-bantu di rumah itu mati juga?sekarang kaki Bapak tiba-tiba saja membengkak tanpa sebab!”
“Jangan seperti orang Jawa yang sangat suka menerapkan gathukkologi*. Kaki bengkak ini karena Bapak memang sudah tua Tinem. Tidak ada hubungannya dengan dedemit-dedemit yang katamu dihimpun keluarga pakdhe Ngadimin itu. Terkait kematian Rasidi,  adikmu itu kepleset dari lantai dua Nem. Lantas tersangkut tali jemuran yang Bapak bentang di pinggir rumah, lima meter dari lantai dua. Mengenai simbokmu itu, dia mati karena darahnya menukik”.
“Tapi, Pak….?!”
“Sudah lah Nem…bibir yang biasa kau pakai membaca Al-Qur’an, hari ini kau pakai menggunjing orang, Bagaimana Akhlaq perempuan yang baik menurut dawuh para kyaimu dulu?”
“Asaghfirullohal adzim”
Tinem mengucap istighfar dalam-dalam, meski ia yakin ia membawa bukti-bukti yang kuat, tapi petuah dari bapaknya mengingatkan Tinem pada Tuhan yang Maha Tahu. Pada Tuhan yang meracik takdir simbok dan adiknya menjadi terkesan terburu-buru meninggalkannya, dengan jalan yang tidak terduga-duga.
*****
Tinem memetik malam dari rembulan yang tembus kedalam jendela kaca kamarnya. Gadis delapan belas tahun itu merasa sangat merindukan ibu dan adiknya. Ibu yang sekarang sedang berlarian di taman surga dan adik yang memetik anggur di tepi telaga susu. Mata bulat Tinem berubah menjadi bendungan jebol, dengan tangis mengalir dari kelenjar air matanya, basahlah pipinya.
Dipan ini Mbok, adalah saksi setiap malam kau meghampiri malam-malamku yang sepi. Juga adik yang manja dengan berbagi cara yang ia miliki, kadang menjewer telingaku, kadang mngejekku, kadang menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, saat ia berhasil mengambil lari sepatuku. Aku kangen kalian.Tapi Bapak tidak ingin mengerti.
Kata batin itu adalah nyanyian Tinem sebelum akhirnya dipan memeluknya dengan lembut dan setia.
*****
Seperti malam-malam kemarin, selepas terlelap, Tinem akan berjumpa gerbang berpenjaga seekor anjing. Anehnya, anjing itu berwajah sepupunya, Martinah binti Ngadimin. Martinah mengintai dengan mata nyalang, senyum sombong di tebar sambil sesekali mulutnya menjilati bingkai foto terpasang di daun gerbang.
Setelah beberapa kali mimpi serupa, lama-lama aku sadar gerbang itu adalah gerbang rumahku, warnanya abu-abu. Setelah lebih cerma menatap,wajah ibu dan adikku terpasang dalam bingkai hitam legam, berjajar dari kanan ke kiri, di sebelah kirinya lagi tergantung bingkai warna emas yang masih kosong. Entah wajah siapa lagi yang akan terpasang disitu. Apa mungkin wajahku, atau wajah ayahku, atau kerabat yang lain? Atau tetangga dekat? Aku tidak tau. Tapi melihat dua contoh sebelumnya, sepertinya penghuni bingkai selanjutnya adalah orang yang juga dekat dengan almarhum dan almarhumah. Ah…sudahlah!.
Setelah ku ingat-ingat, tepi bingkai kosong itu sejak tadi malam berkedip-kedip merah.Aku tak tahu kenapa. Mugkin bingkai itu sedang memberi tanda, sebentar lagi si empunya akan datang. Tapi siapa?
Dan, malam ini, ayah tidak main sembunyi, iya berjalan mendekat kearahku, dengan baju putih dan merangkulku, lalu mencium keningku dalam-dalam.
“Bapak, tangan Bapak dingin sekali, Bapak sakit?”
“tidak, Nduk”
“Bapak tahu anjing dan potret-potret itu?”
“tau Nduk….”
“lantas? Kenapa Bapak memintaku diam ketika aku hendak berkata sesuatu?
“Bapak tau sejak lahir kau adalah anak yang bening hatinya, engkau memiliki kemampuan supranatural yang kau turuni dari nenek moyangmu, di jawa terkenal dengan sebutan sisik melik**. Sejak kecil kau memiliki intuisi yang sangat kuat. Terkadang kau marah ketika pertama kali melihat orang muncul dengan aroma jahatnya. Tapi Nduk, intuisi itu, tidak selamanya baik untuk diceritakan kepada semua orang, Bapak tidak ingin kau mendapat  bala dari ucapan-ucapanmu itu”.
“tapi Pak….?!”
“dedemit yang kau katakan, adalah warisan kakekmu. Semenjak kecil Bapak tau itu. Bapak melarikan diri dari rumah sejak usia 6 tahun. Karena Bapak tahu pesugihan yang dipakai nenekmu bentuknya anjing. Tapi apa boleh buat? Bapak tersadar bukan sejak masih janin. Jika dihitung, enam tahun sudah cukup banyak nominal yang dikeluarkan pesugihan itu. Di dalam kapiler darah Bapakmu ini mengalir jerih payah anjing. Merasa sudah memberi makan Bapak, tapi ayah tak mau tunduk, anjing itu sakit hati, salah satu akibatnya adalah ia mencelakai ibu dan adikmu, juga sampai detik ini memegang kaki Bapak kuat-kuat hingga Bapak harus berjalan dengan terseok”
“tapi kenapa mbak Martinah dan pakdhe Ngadimin ya,Pak?”
“barang kurang baik akan senang pada hati yang dengki Nduk, mungkin begitu”

******
Mimpiku terpotong lolongan anjing seperti malam-malam biasanya. Anjing itu menggonggong di sekitaran rumah, tapi kali ini suara itu sangat dekat, seperti di depan jendela kamar. Desar jantungku makin gusar. Mimpi itu seolah penuh dan hendak tumpah secara mengerikan ke ruang kamar. Ketakutanku dibawa angin ke jantung Bapak di kamar sebelah.
Sms pun masuk:
“Mau Bapak temenin maen poker?
Sms itu kusambut dengan girang. Sepasang sandal bergegas kukenakan. Tubuh yang penuh keringat ku bawa ke ruang tengah. Bapak seperti sudah tahu apa yang baru saja aku impikan. Pantat yang belum panas duduk di kursi ruang tengah, dan tangan yang baru saja menyambar setumpuk poker di meja, disambut dengan pertanyaan-pertanyaan esensialis ala filsuf dan sufi.
“Kau iman pada Alloh, Rasul dan Malaikatnya bukan?”
“Iya,…Pak, kenapa Bapak Tanya begitu?”
“Luar biasa kamu Nduk. Tidak perlu menimbun takut berlebihan. Anjing itu sekarang sedang di kejar malaikat Nduk, hendak di penthung kepalanya. Karena anjing itu menggoda tidur Martinem yang memegang rukun iman dan Islam. Tetaplah yakin Nduk, orang berkeyakinan jasadnya sepertinya sendiri, tapi sebenarnya mereka membawa pasukan yang siap mbedhil musuh dari arah mana saja”
“Tinem kangen ibu sama Rasidi Pak”
*****
Perbincangan pun digulung dalam pekat malam, bertaburan sedih merindukan orang-orang tercinta yang telah meninggalkan mereka.


__________________________________________________


*gathukkologi: gathuk berarti sambung, logos berarti ilmu/ilmu yang suka menghubung-hubungkan/menaut-tautkan tanda/pertistiwa.
**sisik melik: ilmu supranatural yang menurun dari nenek moyang ke anak cucu yang dikehendakinya, sesuai dengan wadah (kemampuan tubuh anak cucu tersebut) dalam menerima ilmu itu. 

Tidak ada komentar: