Oleh: Lia Sholicha Amien
*****
“ Makanya Pak. Aku akan menceritakannya sekarang”.
“ Kamu ini maunya apa tho Nem? Martinah itu
sepupumu sendiri. Masa’ kamu mau bilang dia ngingu anjing? Bilangnya ke pakdhe Ngadimin lagi. Itu
dosanya numpuk-numpuk Nduk. Pertama, kowe fitnah sepupumu sendiri,
kedua, kowe nyakiti hati Martinah,
parahnya lagi, kowe bilang fitnah itu ke pakdhemu Ngadimin, bapaknya
Martinah. Apa kau tak berpikir itu akan memperunyam hubungan Bapakmu ini sama Pakdhemu,
kamu tahu sendiri to Nem, bapakmu ini banyak hutang sama Pakdhe
Ngadimin."
“Itu dia masalahnya Pak, Bapak ingat tho
Rasidi adik Tinem? Dia mati tiba-tiba Pak. Bapak ingat juga simbok yang setelah
bantu-bantu di rumah itu mati juga?sekarang kaki Bapak tiba-tiba saja
membengkak tanpa sebab!”
“Jangan seperti orang Jawa yang sangat suka
menerapkan gathukkologi*. Kaki bengkak ini karena Bapak memang sudah tua
Tinem. Tidak ada hubungannya dengan dedemit-dedemit yang katamu dihimpun
keluarga pakdhe Ngadimin itu. Terkait kematian Rasidi, adikmu itu kepleset dari lantai dua Nem.
Lantas tersangkut tali jemuran yang Bapak bentang di pinggir rumah, lima meter
dari lantai dua. Mengenai simbokmu itu, dia mati karena darahnya menukik”.
“Tapi, Pak….?!”
“Sudah lah Nem…bibir yang biasa kau pakai membaca Al-Qur’an,
hari ini kau pakai menggunjing orang, Bagaimana Akhlaq perempuan yang baik
menurut dawuh para kyaimu dulu?”
“Asaghfirullohal adzim”
Tinem mengucap istighfar dalam-dalam, meski ia yakin
ia membawa bukti-bukti yang kuat, tapi petuah dari bapaknya mengingatkan Tinem
pada Tuhan yang Maha Tahu. Pada Tuhan yang meracik takdir simbok dan adiknya
menjadi terkesan terburu-buru meninggalkannya, dengan jalan yang tidak
terduga-duga.
*****
Tinem memetik malam dari rembulan yang tembus
kedalam jendela kaca kamarnya. Gadis delapan belas tahun itu merasa sangat
merindukan ibu dan adiknya. Ibu yang sekarang sedang berlarian di taman surga
dan adik yang memetik anggur di tepi telaga susu. Mata bulat Tinem berubah
menjadi bendungan jebol, dengan tangis mengalir dari kelenjar air matanya,
basahlah pipinya.
Dipan ini Mbok, adalah saksi setiap
malam kau meghampiri malam-malamku yang sepi. Juga adik yang manja dengan berbagi
cara yang ia miliki, kadang menjewer telingaku, kadang mngejekku, kadang
menggoyang-goyangkan pantatnya ke kiri dan ke kanan, saat ia berhasil mengambil
lari sepatuku. Aku kangen kalian.Tapi Bapak tidak ingin mengerti.
Kata batin itu adalah nyanyian Tinem sebelum
akhirnya dipan memeluknya dengan lembut dan setia.
*****
Seperti malam-malam
kemarin, selepas terlelap, Tinem akan berjumpa gerbang berpenjaga seekor
anjing. Anehnya, anjing itu berwajah sepupunya, Martinah binti Ngadimin.
Martinah mengintai dengan mata nyalang, senyum sombong di tebar sambil sesekali
mulutnya menjilati bingkai foto terpasang di daun gerbang.
Setelah beberapa kali
mimpi serupa, lama-lama aku sadar gerbang itu adalah gerbang rumahku, warnanya
abu-abu. Setelah lebih cerma menatap,wajah ibu dan adikku terpasang dalam bingkai
hitam legam, berjajar dari kanan ke kiri, di sebelah kirinya lagi tergantung
bingkai warna emas yang masih kosong. Entah wajah siapa lagi yang akan
terpasang disitu. Apa mungkin wajahku, atau wajah ayahku, atau kerabat yang
lain? Atau tetangga dekat? Aku tidak tau. Tapi melihat dua contoh sebelumnya,
sepertinya penghuni bingkai selanjutnya adalah orang yang juga dekat dengan
almarhum dan almarhumah. Ah…sudahlah!.
Setelah ku ingat-ingat,
tepi bingkai kosong itu sejak tadi malam berkedip-kedip merah.Aku tak tahu
kenapa. Mugkin bingkai itu sedang memberi tanda, sebentar lagi si empunya akan
datang. Tapi siapa?
Dan, malam ini, ayah
tidak main sembunyi, iya berjalan mendekat kearahku, dengan baju putih dan
merangkulku, lalu mencium keningku dalam-dalam.
“Bapak, tangan Bapak
dingin sekali, Bapak sakit?”
“tidak, Nduk”
“Bapak tahu anjing dan
potret-potret itu?”
“tau Nduk….”
“lantas? Kenapa Bapak
memintaku diam ketika aku hendak berkata sesuatu?
“Bapak tau sejak lahir
kau adalah anak yang bening hatinya, engkau memiliki kemampuan supranatural
yang kau turuni dari nenek moyangmu, di jawa terkenal dengan sebutan sisik
melik**. Sejak kecil kau memiliki intuisi yang sangat kuat. Terkadang kau marah
ketika pertama kali melihat orang muncul dengan aroma jahatnya. Tapi Nduk,
intuisi itu, tidak selamanya baik untuk diceritakan kepada semua orang, Bapak tidak
ingin kau mendapat bala dari
ucapan-ucapanmu itu”.
“tapi Pak….?!”
“dedemit yang kau katakan,
adalah warisan kakekmu. Semenjak kecil Bapak tau itu. Bapak melarikan diri dari
rumah sejak usia 6 tahun. Karena Bapak tahu pesugihan yang dipakai nenekmu
bentuknya anjing. Tapi apa boleh buat? Bapak tersadar bukan sejak masih janin.
Jika dihitung, enam tahun sudah cukup banyak nominal yang dikeluarkan pesugihan
itu. Di dalam kapiler darah Bapakmu ini mengalir jerih payah anjing. Merasa
sudah memberi makan Bapak, tapi ayah tak mau tunduk, anjing itu sakit hati,
salah satu akibatnya adalah ia mencelakai ibu dan adikmu, juga sampai detik ini
memegang kaki Bapak kuat-kuat hingga Bapak harus berjalan dengan terseok”
“tapi kenapa mbak Martinah
dan pakdhe Ngadimin ya,Pak?”
“barang kurang baik
akan senang pada hati yang dengki Nduk, mungkin begitu”
******
Mimpiku terpotong lolongan anjing seperti
malam-malam biasanya. Anjing itu menggonggong di sekitaran rumah, tapi kali ini
suara itu sangat dekat, seperti di depan jendela kamar. Desar jantungku makin
gusar. Mimpi itu seolah penuh dan hendak tumpah secara mengerikan ke ruang
kamar. Ketakutanku dibawa angin ke jantung Bapak di kamar sebelah.
Sms pun masuk:
“Mau Bapak temenin maen poker?
Sms itu kusambut dengan girang. Sepasang sandal
bergegas kukenakan. Tubuh yang penuh keringat ku bawa ke ruang tengah. Bapak
seperti sudah tahu apa yang baru saja aku impikan. Pantat yang belum panas
duduk di kursi ruang tengah, dan tangan yang baru saja menyambar setumpuk poker
di meja, disambut dengan pertanyaan-pertanyaan esensialis ala filsuf dan sufi.
“Kau iman pada Alloh, Rasul dan Malaikatnya bukan?”
“Iya,…Pak, kenapa Bapak Tanya begitu?”
“Luar biasa kamu Nduk. Tidak perlu menimbun
takut berlebihan. Anjing itu sekarang sedang di kejar malaikat Nduk,
hendak di penthung kepalanya. Karena anjing itu menggoda tidur Martinem
yang memegang rukun iman dan Islam. Tetaplah yakin Nduk, orang
berkeyakinan jasadnya sepertinya sendiri, tapi sebenarnya mereka membawa pasukan
yang siap mbedhil musuh dari arah mana saja”
“Tinem kangen ibu sama Rasidi Pak”
*****
Perbincangan pun digulung dalam pekat malam, bertaburan
sedih merindukan orang-orang tercinta yang telah meninggalkan mereka.
__________________________________________________
*gathukkologi: gathuk berarti sambung, logos berarti
ilmu/ilmu yang suka menghubung-hubungkan/menaut-tautkan tanda/pertistiwa.
**sisik melik: ilmu
supranatural yang menurun dari nenek moyang ke anak cucu yang dikehendakinya,
sesuai dengan wadah (kemampuan tubuh anak cucu tersebut) dalam menerima
ilmu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar