“tutur tinular: siji ditutur, siji dilaku, siji
ditular”
“apa
maksud kalimat itu, Pak?”
“sadar
ataupun tidak sebagai manusia kita adalah makhluk peniru. Banyak hal yang kita contoh dan kita ambil
pelajaran dari orang-orang sebelum kita. Bisa jadi itu warisan yang
menguntungkan, atau mungkin kurang menguntungkan, bahkan bisa-bisa merugikan… semua… yang..
diu-sa-ha-kan”
Belum rampung mendengar penjelasan
yang tak dapat ditangkap, lamat-lamat suara gurunya semakin menuju patahan-patahan
suara mendekati volume 0.5 MHz digantikan dengan bisikan gemuruh dari dinding ruang kelasnya.
Gemuruh yang menyadap ingatannya.
Ingatan, ketika matahari itu masih buta, selepas dari
shalat ia lekas bersiap-siap, berdandan rapi untuk menemui Kyai Bustan,
Pengasuh Pesantren. Ayun pikirannya
hendak meminta wejangan secara pribadi kepada beliau tentang aurat wanita. Bagaimana seorang muslimah menjadi begitu
bebas tanpa merasa berdosa sama sekali memperlihatkan anggota-anggota tubuh
yang semestinya ‘terlarang’. Bagaimana mungkin para aparat-aparat Islam sanggup
mencanangkan dan memberlakukan peraturan tertib menutup aurat di negara ini.
Jika semuanya sudah ‘buka-bukaan’ lalu yang mana yang aurat, apa batasan aurat
adalah bagaian tubuh yang kalau dilihat akan menimbulkan hasrat. Lalu bagaimana
jika batasan yang seperti itu larut, karena mungkin nanti bahkan seorang
perempuan tanpa sehelai benangpun dan beraksi bagaimanapun, pria-pria tidak
akan berhasrat. Jadi aurat itu pada hakikatnya tiada apalagi batasannya, nihil.
Seperti itulah daftar pertanyaan Ode tercatat dalam otaknya.
Beberapa kali menemui Kyainya, akan
tetapi tidak juga merasa puas dengan jawaban-jawaban yang ia terima.
Berminggu-minggu di kamar dengan pintu terkunci. Seakan ruang yang dipenuhinya
dengan privasi. Ode sanggup seharian hanya ditemani beberapa batang rokok
hingga satu-persatu berakhir di asbak lengkap menjadi jelaga dan puntung batas
terpendek. Pikirannya terus meraba beberapa kemungkinan yang ia inginkan
menjadi kesimpulan untuk mendapatkan kepuasan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya.
Memang, akhirnya ia yang harus memuaskan sendiri kehausan pikirannya. Dalam
tidur dan terjaga ia bermimipi dan mencari pendapat pandangan dunia atau world
view yang paling ideal. Tapi yang ditemuinya hanya kekecewaan bahwa Islam
nanti takkan berbekas samasekali dalam tata dan nilai kehidupan manusia. Ode
yang malang.
“baiklah, Ode. Seperti itu
penjelasannya. Sudah paham?”
Ode masih dalam dimensi suara
dinding ruang kelas yang semakin menghentak-hentak seakan berusaha rubuh
menimpanya. Tapi ia tak hendak bergeming dari kursi seperti cecunguk yang lari
dikejar ketakutan.
“Ode,
Ode! Kau mendengarkan?”
“iya,
sangat ribut, Pak”
“apakah
semua manusia benar-benar sudah sangat gemar meniru?”
“ribut,
berisik sekali, ramai”
“setidaknya
kau mendengar penjelasanku. Kau lihat apa?
“Pohon”
“Mengapa kau memandangi
pohon?”
“Untuk melihatnya
dengan baik.
Untuk merasakannya
untuk memahami pemikirannya dan...,mendengarkan apa
yang dikatakannya padaku.”
“baiklah, Ode. Aku paham. Mungkin kau merindukan
seseorang, yang mungkin bukan seorang kekasih atau pacar. Tapi bisa jadi memang
kau berpikir manusia juga meniru pepohonan”
Sebuah jalan lama membentuk wajah ayahku.
Bahkan bunga liar kesepian malu-malu berpaling.
Begitu dalam cintaku.
Bagaimana hatiku berdesir dikala
mendengar lagu samar darimu.
Aku mendoakanmu.
Sebelum menyeberangi sungai hitam.
Dengan napas terakhir jiwaku.
Aku mulai bermimpi...,
di suatu pagi yang cerah...,
aku terjaga lagi, dibutakan oleh cahaya...,
dan bertemu denganmu...,
berdiri di sisiku.
21
April 2017
Ode, sering kali
merindukan ayahnya. Tulisan di buku catatannya menjadi berlembar-lembar
rangkaian kerinduan yang mendalam. Benar, ia bungsu yang paling suka menikmati
kesendirian daripada kesembilan saudaranya yang lain. Sementara di pesantren, Kyai
Bustan cukup senang ketika tahu Ode menganggap beliau sebagai ayah. Dan Ode
memang anak yang cerdas dan selalu haus pengetahuan sehingga Kyai Bustan pun
menyukainya.
“kemarilah, Ode…”
“iya, kak. Ada apa?”
“Kyai Bustan ingin
bicara denganmu”
“baik, saya segera ke ndhalem,
kak”
“saya tahu banyak pertanyaan-pertanyaanmu yang
jawabanku belum juga memuaskanmu, karena sebenarnya kau juga memiliki jawaban
sendiri. Saya juga sering mengalami hal seperti yang kamu rasakan. Akan tetapi
ingatlah satu patokan, nak. Semua yang digariskan dalam kehidupan manusia baik
tata dan nilainya, semuanya pasti mengalami perkembangan kearah semakin buruk.
Namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita harus terus menerus berdo’a semoga
iman kita dikuatkan, dan saat ini sudah saatnya kita menjadi ghuroba’.
Islam datang sebagai yang asing dan akan kembali menjadi asing. Seperti itulah
hukum alam, Ode.. Kau pasti akan paham yang kumaksudkan. Aku tak bisa lama-lama
menemanimu”
“nggeh, Kyai.. saya berusaha memahami yang Kyai
sampaikan”
“baiklah, semoga kau lulus ujian”
“terimakasih
do’anya, Kyai..”
Tak lama beberapa bulan
kemudian Kyai Bustan wafat…
“kau mau melanjutkan ke
Perguruan Tinggi, Ode?
“mungkin
nanti, Kak Arif.. saya masih harus menemani Ibu saya.”
“baiklah,
semoga Ibumu lekas sehat. Salam untuk Ibumu.”
“terimakasih,
Kak”
Ode telah lulus SMA. Ia mengemasi pakaian dan
barang-barang. Ia ingin segera memulai pengembaraan ilmu ketempat yang lain. Akan
tetapi keinginannya menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah kandas, karena Ibunya
sakit keras. Ia benar-benar harus berdiam di rumah sembari membantu Kakaknya
mengajar di pesantren kecil di samping rumahnya. Dan entah apakah dia akan menjadi ghuroba’.
Yogyakarta,
8 Muharram 1434
Tidak ada komentar:
Posting Komentar