Selasa, 27 Agustus 2013

Tutur Tinular, Santri Berdarah Liberal

 “tutur tinular: siji ditutur, siji dilaku, siji ditular”
“apa maksud kalimat itu, Pak?”
“sadar ataupun tidak sebagai manusia kita adalah makhluk peniru.  Banyak hal yang kita contoh dan kita ambil pelajaran dari orang-orang sebelum kita. Bisa jadi itu warisan yang menguntungkan, atau mungkin kurang menguntungkan, bahkan  bisa-bisa merugikan… semua… yang.. diu-sa-ha-kan”
            Belum rampung mendengar penjelasan yang tak dapat ditangkap, lamat-lamat suara gurunya semakin menuju patahan-patahan suara mendekati volume 0.5 MHz digantikan dengan  bisikan gemuruh dari dinding ruang kelasnya. Gemuruh yang menyadap ingatannya.
Ingatan, ketika matahari itu masih buta, selepas dari shalat ia lekas bersiap-siap, berdandan rapi untuk menemui Kyai Bustan, Pengasuh Pesantren.  Ayun pikirannya hendak meminta wejangan secara pribadi kepada beliau tentang aurat wanita.  Bagaimana seorang muslimah menjadi begitu bebas tanpa merasa berdosa sama sekali memperlihatkan anggota-anggota tubuh yang semestinya ‘terlarang’. Bagaimana mungkin para aparat-aparat Islam sanggup mencanangkan dan memberlakukan peraturan tertib menutup aurat di negara ini. Jika semuanya sudah ‘buka-bukaan’ lalu yang mana yang aurat, apa batasan aurat adalah bagaian tubuh yang kalau dilihat akan menimbulkan hasrat. Lalu bagaimana jika batasan yang seperti itu larut, karena mungkin nanti bahkan seorang perempuan tanpa sehelai benangpun dan beraksi bagaimanapun, pria-pria tidak akan berhasrat. Jadi aurat itu pada hakikatnya tiada apalagi batasannya, nihil. Seperti itulah daftar pertanyaan Ode tercatat dalam otaknya.
            Beberapa kali menemui Kyainya, akan tetapi tidak juga merasa puas dengan jawaban-jawaban yang ia terima. Berminggu-minggu di kamar dengan pintu terkunci. Seakan ruang yang dipenuhinya dengan privasi. Ode sanggup seharian hanya ditemani beberapa batang rokok hingga satu-persatu berakhir di asbak lengkap menjadi jelaga dan puntung batas terpendek. Pikirannya terus meraba beberapa kemungkinan yang ia inginkan menjadi kesimpulan untuk mendapatkan kepuasan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Memang, akhirnya ia yang harus memuaskan sendiri kehausan pikirannya. Dalam tidur dan terjaga ia bermimipi dan mencari pendapat pandangan dunia atau world view yang paling ideal. Tapi yang ditemuinya hanya kekecewaan bahwa Islam nanti takkan berbekas samasekali dalam tata dan nilai kehidupan manusia. Ode yang malang.
            “baiklah, Ode. Seperti itu penjelasannya. Sudah paham?”
            Ode masih dalam dimensi suara dinding ruang kelas yang semakin menghentak-hentak seakan berusaha rubuh menimpanya. Tapi ia tak hendak bergeming dari kursi seperti cecunguk yang lari dikejar ketakutan.
            “Ode, Ode! Kau mendengarkan?”
            “iya, sangat ribut, Pak”
            “apakah semua manusia benar-benar sudah sangat gemar meniru?”
            “ribut, berisik sekali, ramai”
            “setidaknya kau mendengar penjelasanku. Kau lihat apa?
“Pohon”
“Mengapa kau memandangi pohon?”
“Untuk melihatnya dengan baik.
Untuk merasakannya
untuk memahami pemikirannya dan...,mendengarkan apa yang dikatakannya padaku.”
“baiklah, Ode. Aku paham. Mungkin kau merindukan seseorang, yang mungkin bukan seorang kekasih atau pacar. Tapi bisa jadi memang kau berpikir manusia juga meniru pepohonan”

Sebuah jalan lama membentuk wajah ayahku.
Bahkan bunga liar kesepian malu-malu berpaling.
Begitu dalam cintaku.
Bagaimana hatiku berdesir dikala
mendengar lagu samar darimu.
Aku mendoakanmu.
Sebelum menyeberangi sungai hitam.
Dengan napas terakhir jiwaku.
Aku mulai bermimpi...,
di suatu pagi yang cerah...,
aku terjaga lagi, dibutakan oleh cahaya...,
dan bertemu denganmu...,
berdiri di sisiku.
           
                                                21 April 2017


Ode, sering kali merindukan ayahnya. Tulisan di buku catatannya menjadi berlembar-lembar rangkaian kerinduan yang mendalam. Benar, ia bungsu yang paling suka menikmati kesendirian daripada kesembilan saudaranya yang lain. Sementara di pesantren, Kyai Bustan cukup senang ketika tahu Ode menganggap beliau sebagai ayah. Dan Ode memang anak yang cerdas dan selalu haus pengetahuan sehingga Kyai Bustan pun menyukainya.

“kemarilah, Ode…”
“iya, kak. Ada apa?”
“Kyai Bustan ingin bicara denganmu”
“baik, saya segera ke ndhalem, kak”

“saya tahu banyak pertanyaan-pertanyaanmu yang jawabanku belum juga memuaskanmu, karena sebenarnya kau juga memiliki jawaban sendiri. Saya juga sering mengalami hal seperti yang kamu rasakan. Akan tetapi ingatlah satu patokan, nak. Semua yang digariskan dalam kehidupan manusia baik tata dan nilainya, semuanya pasti mengalami perkembangan kearah semakin buruk. Namun tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita harus terus menerus berdo’a semoga iman kita dikuatkan, dan saat ini sudah saatnya kita menjadi ghuroba’. Islam datang sebagai yang asing dan akan kembali menjadi asing. Seperti itulah hukum alam, Ode.. Kau pasti akan paham yang kumaksudkan. Aku tak bisa lama-lama menemanimu”
nggeh, Kyai.. saya berusaha memahami yang Kyai sampaikan”
“baiklah, semoga kau lulus ujian”
            “terimakasih do’anya, Kyai..”

Tak lama beberapa bulan kemudian Kyai Bustan wafat…

“kau mau melanjutkan ke Perguruan Tinggi, Ode?
            “mungkin nanti, Kak Arif.. saya masih harus menemani Ibu saya.”
            “baiklah, semoga Ibumu lekas sehat. Salam untuk Ibumu.”
            “terimakasih, Kak”


Ode telah lulus SMA. Ia mengemasi pakaian dan barang-barang. Ia ingin segera memulai pengembaraan ilmu ketempat yang lain. Akan tetapi keinginannya menuntut ilmu di Makkah al-Mukarramah kandas, karena Ibunya sakit keras. Ia benar-benar harus berdiam di rumah sembari membantu Kakaknya mengajar di pesantren kecil di samping rumahnya.  Dan entah apakah dia akan menjadi ghuroba’.

                                                                                                            Yogyakarta, 8 Muharram 1434

Tidak ada komentar: