Di awal ini, tahun
membentuk lingkaran besar salju prahara negeri, kian membeku. Bersama ledeng pemerintahan
yang mengemasi air birokrasi, terangkut juga batu-batu es masalah yang terus mengeras,
jika pun lekas mencair pasti membanjiri, kerunyaman negeri. Marleta mengunci
neraca pikiran, ia tak hendak lagi menimbang kepelikan yang dibebankan dari
segala penjuru nusantara, biarkan negeri ini pontang-panting.
Berkelimpungan di
atas dipannya yang kering sambil mengamati merk atap yang dipasang oleh
angsuran orang tuanya, ya, atap dengan merk yang saling berbeda. Ia menaksir dulu
ayahnya adalah seorang veteran yang sekarang hanya gigit jari tanpa perhatian
pemerintah. Sedangkan ibunya hanya pekerja serabutan, kadang mengepel, menyapu,
kadang mencuci baju anak-anaknya termasuk baju Marleta. Iya, ibunya hanya ibu
rumah tangga. Yang paling ia suka dari ibunya adalah karena tidak gemar
mengeluh. Dari situ Marleta melihat ketabahan seorang Ibu.
“Ita, Mana baju kotormu, Nduk?”
“jangan dicuci dulu, Bu.. nanti Ita yang cuci”
Baginya Ibu adalah
segala-galanya. Ibunya semakin tua, sementara ayahnya yang sekarang hanya bisa
terbaring di atas ranjang. Marleta-lah yang akhirnya menjadi tulang punggung
keluarga.
Marleta bekerja di
konter restorasi hanphone, dengan tetangganya, Sarqo. Sepulang bekerja ia
belajar. Pendidikannya memang terputus. Tapi ia lebih beruntung, dari
saudara-saudaranya ia sendiri yang tamatan SMA, selainnya SD dan SMP. Dan lebih
beruntungnya lagi ia tak patah semangat, terus menerus belajar dan rajin
membaca buku, ia tertarik dengan filsafat.
Di tengah
konsentrasinya pada atap-atap, pandangannya tertarik menuju luar jendela.
Terdengar raungan motor Darwis dengan beberapa orang, teman-teman SMP Marleta
dulu.
“tinggalkan dulu
atapmu, Marle”
“tega sangat kau panggil aku Marle!”
“hehe, ayolah, Bob!”
“Bob Marley*? Orang reggae
itu?”
“daripada Mbah Surip** kan?”
“awas kau Darwis! Aku lebih suka Mbah Surip, aku tahu
filosofi lagu-lagunya”
“oke, mau tak gendong? Hehe… ayolah, hari ini musik
spesial untukku, Marleta..”
Sebenaranya
Marleta tidak suka diganggu ketika sedang asyik dengan pengamatannya. Akan
tetapi, ya… akhirnya ia mengalah untuk kawan lamanya. Ya begitulah dunia
rangkaian hubungan sosial, seperti lagu Iwan Fals “Teman Kawanku punya teman”,
paling tidak, kita tidak mengecewakan teman kita.
Ia memperhatikan Darwis
lalu pepohonan pinggir jalan, kambing-kambing giringan Pak Minto lalu terbersit
kata-kata dalam Zabur, sambil tetap terus mengamati keluar jendela;
…
Apakah manusia hingga Engkau mengingatnya
Dan Bani Adam sehingga Engkau
Memperhatikannya?
Engkau membuatnya sedikti lebih rendah daripada
makhluk-makhluk ilahi,
Dan memahkotainya dengan kemuliaan dan kehormatan
Engkau menjadikannya penguasa atas karya “tangan”-Mu.
Segala sesuatu Kautaklukkan di bawah kakinya:
Kambing domba dan lembu semuanya,
Juga binatang-binatang di padang,
Burung-burung di udara, ikan-ikan di laut,
Dan segala sesuatu yang melintasi relung lautan.
Ya Allah Ya Rabbana,
Betapa mulia nama-Mu di seluruh bumi***
Ia kembali dalam kesadaran,
berpakaian untuk menemui Darwis dan kawan-kawannya. Entah mengapa hari itu
Marleta berdandan, dan mengapa terlihat sangat
cantik. Apa mungkin karena Darwis di sana. Ia dengan kemeja, yang biasa
ia hanya mengenakan kaos oblong. Dan dilengkapi jeans klasik dengan perpaduan
warna yang sangat pas. Ia bahkan meraba
penampilannya, dan mulai bertanya ada apa dengan dirinya, ia sendiri tak sadar.
Jawaban sederhananya ia nampak cantik karena dia wanita.
“Ita, tolong
belikan Ibu telur”, Ibunya memberi instruksi dari balik pintu kamar. Kebetulan
ada Darwis nanti sekalian mampir ke toko kelontongnya, harga di toko kelontong Darwis
cukup miring, pikir Marleta.
Setelah hari Darwis
berlalu, tanda tanya besar mampat mengisi kepalanya. Dalam kerutan dahi akibat
ulah alis yang beradu, Marleta membanting tubuh, kembali, di atas dipan tuanya.
Sementara second opinion hasil terkaan pikiran hanya terparkir dalam
titik yang tak memberi jeda untuk kegelisahannya. Karena ternyata di hari yang
berlalu itu, Darwis menyatakan ingin segera melamar Marleta. Dan tampang Darwis
ketika itu sama sekali tak terlihat tanpa keseriusan. Hingga Merleta juga
melupakan telur pesanan Ibunya.
Ia ingin lekas melewatkan bagian ini. Tak mau pusing dulu
memikirkan niat Darwis. Tekadnya hanya ingin terus belajar, melanjutkan
pendidikan setinggi-tingginya, urusan nikah nanti dulu. Tertujulah kembali
matanya pada larik-larik buku, ruas demi ruas. Tapi pikirannya lagi-lagi
tersergap menimang jawaban untuk lamaran Darwis. Mereka memang belum berstatus
pacaran, dan sama-sama memiliki prinsip “pacaran, ya setelah nikah”. Dan usikan
pikiran yang tak henti-henti berputar di kepalanya itu, ketika Marleta tengah
berusaha asyik dengan buku.
*****
Hingga suatu pagi
terdengar riuh rendah suasana keributan di rumah Darwis. Marleta pun menulusuri
apa yang telah terjadi. Begitu menggemaskan Ibunya mengatakan: “Darwis terjerat
tali, mati”. Marleta terhuyung, segera pandangannya gelap oleh kelopak mata, jatuh
pingsan.
Terasa beberapa
menit hingga akhirnya tersadar. Marleta berusaha bangkit meski keadaan tubuhnya
masih sangat lemas, tapi ia tak peduli. Ia langsung menghubungi teman-teman
SMP-nya untuk memberi kabar perihal Darwis. Tapi hatinya tetap ketar-ketir.
Bagaimana dia bisa tenang, sementara beberapa hari sebelum peristiwa itu
Marleta mengatakan kepada Darwis bahwa ia belum siap dilamar apalagi menikah. Dan
bagaimana mungkin itu adalah Darwis yang terjerat tali, kecuali itu adalah Darwis
yang gantung diri. Beruntungnya, Darwis tak meninggalkan jejak tentang Marleta.
Bahkan Marleta sama sekali tak dicurigai pernah menjalin hubungan istimewa
apapun dengan Darwis.
Melepaskan berbulan-bulan genggaman kesedihan. Marleta
melenggang menuju hidup barunya di dunia akademis, ia mendapatkan beasiswa. Setelah
pertimbangan dengan saudara-saudara dan ibunya, ia pun memutuskan menjemput
beasiswa itu. Teringat kata terakhir yang dikutip Darwis untuknya, “Aku hidup
bukan untuk kali ini saja, seperti kata Chairil Anwar yang ingin hidup seribu
tahun lagi”, Marleta kembali sedih. Entah dimana Darwis setelah itu. Tapi dari
kata-kata Darwis itulah Marleta tahu apa yang sebenarnya harus dicapai. Meskipun
Merleta tak pernah percaya bahwa Darwis selemah itu.
Yogyakarta, 30 Robi’ul Awal 1434
_____________________
* Musisi Raggae asal Jamaica, pioner gerakan
Rastamania, lagu-lagunya melegenda hingga di Indonesia.
** Almarhum Mbah Surip, terkenal dengan lagu
“tak gendong”, beberapa seniman dan budayawan mengapresiasi lagu-lagunya yang
dikatakan mempunyai perjalaan filosofis kehidupannya di negeri ini.
*** Disadur dari “Manusia hina sebagai makhluk
mulia”, Zabur; Pustaka Marwa, Yogyakarta; Cet. I, 2006. Hlm. 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar