Berbagi pagi di ranjang setelah berdua kunjungi malam
yang gusar. Meluncurkan adukan dalam secangkir. Menyingkap tirai lalu duduk menyapu
mega timur. Mentari menembuskan sunting tembakan cahaya berbagai kaliber. Mengganti
tanda untuk padamkan obor-obor.
Koran-koran tahun lalu, pungutan sisa pelanggan tukang
sampah. Dibaca dari balik kaca mata. Dengan pose tumpang kaki semanis tehnya.
Sambil memantik api nyaris membakar ujung bibir. Dibolak-balik mencari berita
korban mutilasi. Menjelajahi motif pelaku. Rumor disana mengatakan dipicu pengkhianatan
kekasih. Pada sudut pandang ini, kekasih yang tak lebih dari budak pemuas
hasrat. Beberapa malam setalah laut-laut memuncakkan ombak malam purnama. Di garis
pantai pembunuh itu menelanjangi kekasih yang membuatnya patah hati. Dan Mar
tetap Mar yang dulu, berdarah panas. Terbawa emosi merasuki pikiran pembunuh
sadis itu.
“Mar, sayang… dimana kau sembunyikan BH-ku? “
“Mana ku tau, Mona… jangan rusak penyelidikanku kali
ini!”
“kasus apalagi hey pemulung!?”
“Pembunuhan sadis”
“Bukankah kau lebih sadis membiarkanku melarat, Mar!?”
“Terserah lah apa katamu!”
Kelengangan Blok M menjadi motif paling unik untuk menampung
raut pagi yang hampir tak merah. Tak lagi anjing dan tuannya melenggang berjogging
bersama. Trayek yang lebih serius sedang terjadi di sana, di simpang jalan,
besar dan rumit serta tentunya penuh asap. Menuntut penumpang setia angkutan
kota berlarian menghambur. Mobil-mobil pribadi lebih santai lagi, mereka lebih
suka mengikuti peraturan macet lalu lintas Jakarta. Mar juga macet karena
Istrinya.
Noni-noni
menggerai topi lebar. Di pelantingan bus kota mampir halte dalam daftar kunjungan.
Satu-satu memasuki pintu manual dengan kenek gesit. Dirangsek semuanya sesak,
yang penting di atas roda. Gencetan kaki sopir. Pedal gas yang mulai
ugal-ugalan panjat pedal rem mendadak. Terhentak serentak. Perhentian
selanjutnya, lampu hijau yang juga macet. Meski selalu hijau. Mungkin ini hari
kebebasan. Biarkan dua orang sopir dan kenek menikmatinya.
Mar berjalan menyusuri
tempat sampah. Diteliti plastik dan bahan logam yang bisa diangkut. Sayangnya
dia tak punya pedal gas dan rem. Deretan penampungan barang-barang sisa itu tak
menyediakan cukup waktu karena terlampau banyak. Banyak sekali yang mestinya
layak ia angkut. Tapi kapasitas karung bawaannya tak memadai. Dan jika tidak
lekas juga terangkut akan terdahului pemungut lain, layaknya Mar, yang tentu mereka menginginkan pundi-pundi
uang hasil penjualan barang bekas.
Dinding-dinding penuh graffiti melewati jembatan layang yang
selalu menjadi trayek favoritnya. Ia tak mau menjajal rute lain. Beberapa waktu
lalu ia menyelidiki kasus bunuh diri. Lagi-lagi perempuan. Ketika melintas
jembatan penyeberangan. Perempuan itu, yang ternyata gadis yang masih berusia
tujuh belas tahun. Ia berpegangan pada teralis samping jembatan. Dipanjatnya,
setelah berdiri di atas teralis ia menggapai-gapai atapnya. Tidak ada yang tahu
tepatnya. Bisa dikatakan berdasarkan data dari saksi mata perempuan itu bukan
sedang berusaha menggapai atap. Tapi ia seakan sedang melambai berusaha
mengejar seseorang. Lalu melompat. Dan penyeledikan Mar berhenti. Lantaran ia
bukan ahli kejiwaan.
“Mar, dapat berapa hari ini?”
“dapat
apa Mona?”
“Duit!, apa lagi! Aku butuh duit Mar!.. Habis make’ perempuan harus ngasih duit”
“jadi
kamu suruh aku make’ WTS?”
“kesana aja, Mar..! asal dapat duit.”
Mar
kalah telak kalau perdebatannya sudah urusan uang. Istrinya menampakkan seolah
cinta yang melandasi pernikahan mereka sudah bukan hal penting. Ia lelah
menghadapi kerasnya Jakarta. Suaminya juga tidak salah, karena telah bekerja
keras. Memang karena lulusan Sekolah Dasar, suaminya hanya mampu memulung. Tapi
kadang kata-kata kasar Mona seperti itu begitu saja keluar karena penatnya. Dan
Mar pun menyadari ketidakberdayaan.
Ia mulai
berpikir mencari pekerjaan lain. Setidaknya bukan pemulung.
To be continued….
* Xanthippe adalah nama atau sebutan untuk istri yang cerewet dan pemberang, atau Xanthippe adalah nama istri Socrates
Tidak ada komentar:
Posting Komentar