Senin, 30 September 2013

 “Kutanam manifestasi
dalam lembah 13 rasi,
menujum gemintang pucat pasi,
luruh
seluruh
runtuh
oleh guruh
menjurang kremasi.”


Andai semburat yang mengawang pada mendung-mendung mampu kutatap hingga terantuk di pelaminan kita,
Kupanjati pepohonan yang menerjangkan jemarinya menggoyangkan kursi tua semayamku merenda,
Mengamati dari jarakku melempar mata dan bibirku juga terlempar mengecupimu,
Ah! Aku terlalu mesra pada awan-awan yang mematut senyum dihujani soreku.


Jangan menantiku malam ini karena kau menghalau mendung tempatmu sembunyi,
Bila tak ingin aku menangkapmu dalam kawahku yang benar-benar nyala,
Basahilah cahyamu dengan luapan yang lumer di lembah-lembahku,
Jika tiba-tiba kau kabur menebar aromamu, seluruh gemintang kutelan di perutku,
Kau akan sendirian dan aku leluasa bulat-bulat melahapmu dalam muaraku.
 

Bukankah malam kini telah mengecupkan kegelapannya pada lampu-lampu sepanjang jalan yang kau lalui?
Lalu bulan sambil cemburu memalingkan rautnya digumuli luka bumi,
Dimanakah harus terbit meski aku mentari?
Tapi aku memilih menjadi mata merelangkan pandanganmu pada hati ini.



 
Kaukakikukaku
Kaukah? Kakikukah?
Kakukah?
Kaukakukakiku.




Kita semakin dekat, jauh berdekatan dan aku dekat dari kejauhan, mendekati kedekatan dan menjauhi kejauhan, dekat dalam kedekatan dalam kedekatan dekat, mendalami kedekatan mendekat dalam dekat, mendekat dalam-dalam dekat dalam terdalam dekat kedekatan terdalam.






Bagaimana bisa kaukatakan kita semakin dekat, mendekat dalam kedekatan yang terdekat?
Bagaimana bisa kaukatakan kita semakin dekat, menjauhi kejauhan?
Ah, jauh-dekat memang bukan soal jarak, tapi pertanyaan ini tetap saja mendesak.

Lanjut Ke >>>BAG III

Tidak ada komentar: