Membuat seribu kata yang tak kaupahami menjadikanku yakin cintaku masih,
Aku lebih takut jika kautahu aku benar-benar mencintaimu
dan kau beralih,
Bahkan mentari yang kutatap tak pernah mampu berdalih,
Bukankah
kautahu itu, kasih?
***********************************************************************************
Duduk di
seberang, menatap rembualan dan calon pagi yang saling membelai, entah
kerinduan apa, mungkin bumi yang mempersatukan, tapi aku tak begitu mesra malam
ini, kusangka mereka beradu tentang ketulusan, kukira mereka berebut
masing-masing dirinya, “aku mesra kan?”, mereka merebutkanku dengan pertanyaan.
“Pagi yang kujanjikan semalam berselingkuh dengan
mentari, mereka benar-benar romantis, menghujaniku bunga api tersundut mega,
hampir berjelaga dan asap-asap berubah embun, mereka berebut cahaya, juga
masing-masing dirinya, “apakah aku indah?”, aku tak pernah berpendapat atas
pertanyaan itu.”
“Mereka bercinta di sana, sedang di sini langitku
menangis, hingga embun pun terkikis.”
“Kurasakan mereka sedang menanti tangis menderaikan
hasrat, tapi tatapan tajam itu tak mungkin lumer menjadi air mata, meskipun
hujan menepis embun seperti langitmu, bukankah mereka larut dalam asmara
cahaya?, aku tak tega mengusiknya sekalipun dengan pelangiku.”
Menyapa handuk-handuk yang basah di hilir sungai tubuhku,
Kausedang mengaduk-aduk cangkir uap dan aroma hitam yang baru,
Tak lama sekian pagi setelah mengamini doaku,
Kaubersandar di pundakku menyambut pagi hingga senja beradu
Entah malam keberapa aku tetap membicarakan malam, entah
rindu yang bagaimana aku tetap merindu, entah cinta yang seperti apa aku tetap
merapal cinta,
Entahlah..,
Entah
kesekian yang entah..
Ingin berlari menjauhi tangkapku mengadulah
tentang rasa sakit yang kautakutkan,. Maka mengerti rasa sakitku yang tak
tertahan. Aku tak mau menjadi matahari, api, bara, cahaya, nyala, panas. Yang
menyakitimu menyakitkan..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar