Berdesiran segala rongga nadiku
Tapi kita takkan se’badan’ kan?
Aku adalah diriku begitu juga kau serta egomu
Meski ranjang hendak rapatkan tubuh kita ditambah kelambu
“Kutitipkan semalam rindu di ranjang manismu”, salamku
Namun kau buatku sakau
Meremuk sekat kian racau
Seakan kau ‘agama’ku”
“Haruskah dengan
pongah aku berkata,
telah menguasai
hatimu tanpa menundukkanmu,
mengikat pikiranmu
tanpa memperbudakmu,
walau tetap ada
lapisan kabut yang menghalangiku untuk
‘mempertaruhkan’
hati ini di haribaanmu...”
“Jika kau tak datang lagi untuk kubacakan hatiku yang
terlewat, maka
Jika hatiku menumpahkan isi darahnya di bumi, maka
Jika semua darah itu tanpa sengaja menyapamu mengatakan
apa saja, maka
Jika semua keyakinanmu tentang ketulusan dan kesetiaan
sirna, maka
Jika hatiku berbicara nanti, tentang kecuranganmu, maka
Jika aku hanya mengadukannya pada Sang Penguasa Hati,
maka.”
“Maka apa yang harus
kuperpuat agar darahmu tak perlu tumpah dan aku tak perlu bermain dengan
kecurangan?”
Lafal-lafal
di hatimu getarkan lidahku memucatkan bibir mencuat,
Sesekali
kuberbisik suara berisik rangkai nada yang melumat,
Hingga
tubuh berguruh-gemuruh tanpa diktat tercatat,
Tetap
lafal-lafal itu tertambat, di hatimu saja aku berkutat
“Mengkhatamkan
hatimu yang terbaca
Mengkhusyu’kan
baris-baris takbir salamku malam sepertiga
Dan kau
benar-benar lebur menjadi diriku tanpa aku meraba
Karena
sukmamu dan sukmaku menyatu tanpa segala.”
“Kegembiraan apakah yang membuatmu begitu tegar berdiri di sana menahan air
mata?
Kesedihan apakah yang menjadikanmu begitu berkeras merenda tawa?
Tatapan apakah yang mengingatkanmu bahwa kaubegitu sederhana?
Hati apakah yang melunakkanmu tangis, tertawa, dengan tatapan yang
menerpa?”
“Kata manakah yang paling tepat untuk menjawab segala yang kautanya?”
“Katakanlah jawabanmu hingga kautepat menanyakan bagaimanakah hatimu..”
“Satu rahasia mengapa
perempuan itu rumit, sesekali memahami hatinya sendiri saja sulit...”
“Teruslah saja seperti itu..”
“Seperti apa?”
L
Tidak ada komentar:
Posting Komentar