Senin, 30 September 2013

BAG V


Kepada “wahai” yang menjarah rasaku,
Kepada “aduhai” yang menghujam pikiranku,
Kepada “alangkah” yang menembus hatiku,
Kepada “wah” yang menggenangi jiwaku,
Wahai! Yang Maha Alangkah, satukanlah kami tanpa celah!



 

Sembilan senar gitar yang kauputus buatku menari camar.
Mengicau tak kalah kacau dari dengusmu yang racau menyamar.
Mengirim sumbang yang sambaing sembahyang tegang saling hambar.
Menjadi sukma sajadah rima tak gema sambar-sinambar...”


 
“Jika aku merasa lebih tenang dengan cukup kauberkata, “sungai-sungaiku bermuara di lautmu”,
Jika saja aku menjadi damai menikmati katamu, “aku tirtamu menitis embun kuncupkan daunmu yang kering”,
Jika kau ingin katakan dan aku dapat tentram, “aku hilangkan dahagamu hingga tanahmu becek penuh bunga bermekaran”,
Jika saja kau diam, membuatku tak mau kauberkata-kata,
Cukup diam itu yang mengertikanku, “semua-yang-aku:ingin-kau-katakan”.”

“Jika saja aku tak terlalu takut akan patahnya hati, sudah terlalu dalam aku bersenyawa dalam biru lautmu, airmu sungguh menawarkan ketenangan, tapi sudah kukatakan bahwa aku terlalu takut, bilakah ada karang tajam yang tak bisa untuk kulampaui, yang mengharuskanku tenggelam di tengah-tengah biru lautmu?”

“Resapilah semua ketakutanku bahwa keyakinanku,
Mengalirlah dalam ketakutanmu bahwa kekuatanmu,
Menghempaslah karangmu bahwa loncatanmu,
Meresaplah maka aku mengalirimu,
Kuatkan aku maka meyakinkanmu,
Kita menerjang karang tanpa ragu.”

“Seandainya saja tenang lautmu itu t’lah nampak di pelupuk mataku, kukira aku berani melangkah sendiri menyelamimu..”

 



O, Meisya,. Tapakku merapal desah
Tanpa kesah relangku kalah
Selaksa pendarmu merasuk luapan titah
Dalam kubah yang bersujud rambah
Turutku tersungkur menelan dahi yang bilah
Dan KAU dalam shaf kananku sebelah





 
Jika perjumpaan kita yang seperti ini membuat Tuhan cemburu, karena tiba-tiba aku begitu mencintaimu, semestinya aku tetap memenuhkan Tuhan dalam hati dengan segala upayaku. Namun, lubang yang kaubuat menjadikan kaulah sendiri yang harus menambal hingga utuhlah hatiku.






“Gigil kawin dipelaminan celah daun-daun tubuhku,
jemari mentari merangkul gemetar tanganku,
Kutatapnya mesra meresap kehangatan di julur aromaku,
Melepas pandang pada laut yang membirukan mataku,
Ingin kuminum habis cahaya dan air laut itu,
Tapi untuk apa?”


 
“Begitu indah, tapi aku terjeruji dan semakin jauh tuk bisa tanganku gapaimu, hingga dinding tebal dengan sedikit celah untuk udara bermanuver hilir mudik, dari situ kulihatmu berpendar terkepung keindahan. Apakah ini yang orang sebut pengorbanan?”

“Manusia terlalu naïf untuk menyatakan sebuah pengorbanan. Ribuan kata-kata hanya bertakdir sebagai kata semata tanpa adanya transformasi pada dimensi nyata. Dan kata hanya akan menyusut seperti embun yang menyerah pada tahta surya.”

“Surya juga berkorban terbakar sendiri untuk terik menelan embun habis-habisan.”

“Itu hanya alasan embun untuk berkelit dari vonis alam, berusaha mencitrakan diri sebagai pemenang untuk menyamarkan daya rapuhnya yang begitu nyata.”

“Apa mungkin, itu ketidaksempurnaan yang sangat sempurna?”

“Entahlah...”


 
Entah ratusan hari kuciumi mawar yang bahkan tak pernah kuncup,
Hingga bukan saja duri yang menusuk-nusuk mataku yang tertutup,

Namun aroma apa yang semerbak di hidungku?
Benarkah ini mawar yang kutanam itu?

Tapi mengapa di sana ada keranda dan kelopak-kelopak pucat yang layu?
Tapi derai tangis tak kalah pucat dalam rumah yang tak asing bagiku?

Tapi hari tak hujan dan mereka berpayung hitam?
Tapi aku yakin ini harum mawar?
Tapi, tapi, ta, tapi, ta, ta..pi
Ini harum melati
 





“O, lahat pelepas mendung. Dungulah kala serapah memejam. Pejamilah panas resam yang kalam. Lampiaskan segepok ronta kurung pasung.
 

Robbi inni maghlubun, fantashir! Wajma’ qalbi ‘l-munkasir!
................
Tuhanku sungguh kuterlecah nafsuku, tolong dong..
Satukan kesadaranku, jiwaku tercecer di mana-mana, Tuhanku.





 
“Kau menghujaniku dengan puisi-puisi yang indah, sekalipun tak semuanya bisa kumaknai dengan sempurna, tapi terimakasih karena kau telah menghadiahkanku saat-saat aku merasa bahwa aku lebih dari sederhana.”


“bukan puisi! Kau tetap memaksaku percaya?”,
“tapi itu indah, perhatikan..”,
“kau tak punya cita rasa?”
“bukan, aku yakin itu indah”
“keyakinanmu yang indah, sayang..”,
“bukankah itu puisi yang kau buat?”
“bukan puisi! Kau tetap tidak percaya?”
“baik, itu kata-kata yang kaususun bukan?”

“Aku jatuh cinta pada kejelianmu menjahit kata. Terpasung dalam sihir mantra yang terbuncah. Rima dan rasa lebih derajat dari bernada. Rimba katamu menjelma buyar dalam darah yang beredar. Dicumbu gemetar, tunduk faalku menciut.”


* Tanganku merogoh saku mencari-cari receh dan mataku
Menangkap nuansa dan jarak laju
Yang mengantara sinar dan cahaya cermin buku
Otakku penuh, huruf, nominal, ruas, puisi dan tetap mataku.

Lanjut Ke >>>BAG VI

Tidak ada komentar: