Kepada “wahai” yang menjarah
rasaku,
Kepada “aduhai” yang menghujam
pikiranku,
Kepada “alangkah” yang menembus
hatiku,
Kepada “wah” yang menggenangi
jiwaku,
Wahai! Yang Maha Alangkah,
satukanlah kami tanpa celah!
Sembilan
senar gitar yang kauputus buatku menari camar.
Mengicau
tak kalah kacau dari dengusmu yang racau menyamar.
Mengirim
sumbang yang sambaing sembahyang tegang saling hambar.
Menjadi
sukma sajadah rima tak gema sambar-sinambar...”
“Jika aku merasa lebih tenang dengan cukup kauberkata,
“sungai-sungaiku bermuara di lautmu”,
Jika saja aku menjadi damai menikmati katamu, “aku
tirtamu menitis embun kuncupkan daunmu yang kering”,
Jika kau ingin katakan dan aku dapat tentram, “aku
hilangkan dahagamu hingga tanahmu becek penuh bunga bermekaran”,
Jika saja kau diam, membuatku tak mau kauberkata-kata,
Cukup diam itu yang mengertikanku,
“semua-yang-aku:ingin-kau-katakan”.”
“Jika saja aku tak
terlalu takut akan patahnya hati, sudah terlalu dalam aku bersenyawa dalam biru
lautmu, airmu sungguh menawarkan ketenangan, tapi sudah kukatakan bahwa aku
terlalu takut, bilakah ada karang tajam yang tak bisa untuk kulampaui, yang
mengharuskanku tenggelam di tengah-tengah biru lautmu?”
“Resapilah semua ketakutanku bahwa keyakinanku,
Mengalirlah dalam ketakutanmu bahwa kekuatanmu,
Menghempaslah karangmu bahwa loncatanmu,
Meresaplah maka aku mengalirimu,
Kuatkan aku maka meyakinkanmu,
Kita menerjang karang tanpa ragu.”
“Seandainya saja tenang
lautmu itu t’lah nampak di pelupuk mataku, kukira aku berani melangkah sendiri
menyelamimu..”
O, Meisya,. Tapakku merapal
desah
Tanpa kesah relangku kalah
Selaksa pendarmu merasuk luapan titah
Dalam kubah yang bersujud rambah
Turutku tersungkur menelan dahi
yang bilah
Dan KAU dalam shaf kananku
sebelah
Jika perjumpaan kita yang seperti ini membuat Tuhan
cemburu, karena tiba-tiba aku begitu mencintaimu, semestinya aku tetap
memenuhkan Tuhan dalam hati dengan segala upayaku. Namun, lubang yang kaubuat
menjadikan kaulah sendiri yang harus menambal hingga utuhlah hatiku.
jemari mentari merangkul gemetar tanganku,
Kutatapnya mesra meresap kehangatan di julur aromaku,
Melepas pandang pada laut yang membirukan mataku,
Ingin kuminum habis cahaya dan air laut itu,
Tapi untuk apa?”
“Begitu indah, tapi aku terjeruji dan semakin jauh tuk
bisa tanganku gapaimu, hingga dinding tebal dengan sedikit celah untuk udara
bermanuver hilir mudik, dari situ kulihatmu berpendar terkepung keindahan.
Apakah ini yang orang sebut pengorbanan?”
“Manusia terlalu naïf
untuk menyatakan sebuah pengorbanan. Ribuan kata-kata hanya bertakdir sebagai
kata semata tanpa adanya transformasi pada dimensi nyata. Dan kata hanya akan
menyusut seperti embun yang menyerah pada tahta surya.”
“Surya juga berkorban terbakar sendiri untuk terik
menelan embun habis-habisan.”
“Itu hanya alasan
embun untuk berkelit dari vonis alam, berusaha mencitrakan diri sebagai
pemenang untuk menyamarkan daya rapuhnya yang begitu nyata.”
“Apa mungkin, itu ketidaksempurnaan yang sangat
sempurna?”
“Entahlah...”
Entah ratusan hari kuciumi mawar yang bahkan
tak pernah kuncup,
Hingga bukan saja duri yang menusuk-nusuk
mataku yang tertutup,
Namun aroma apa yang semerbak di hidungku?
Benarkah ini mawar yang kutanam itu?
Tapi mengapa di sana ada keranda dan
kelopak-kelopak pucat yang layu?
Tapi derai tangis tak kalah pucat dalam rumah
yang tak asing bagiku?
Tapi hari tak hujan dan mereka berpayung
hitam?
Tapi aku yakin ini harum mawar?
Tapi, tapi, ta, tapi, ta, ta..pi
Ini harum melati
Robbi inni maghlubun,
fantashir! Wajma’ qalbi ‘l-munkasir!
................
Tuhanku sungguh kuterlecah
nafsuku, tolong dong..
Satukan kesadaranku, jiwaku
tercecer di mana-mana, Tuhanku.
“Kau menghujaniku dengan puisi-puisi
yang indah, sekalipun tak semuanya bisa kumaknai dengan sempurna, tapi
terimakasih karena kau telah menghadiahkanku saat-saat aku merasa bahwa aku
lebih dari sederhana.”
“bukan puisi! Kau tetap memaksaku
percaya?”,
“tapi itu indah, perhatikan..”,
“kau tak punya cita rasa?”
“bukan, aku yakin itu indah”
“keyakinanmu yang indah, sayang..”,
“bukankah itu puisi yang kau buat?”
“bukan puisi! Kau tetap tidak percaya?”
“baik, itu kata-kata yang kaususun
bukan?”
“Aku jatuh cinta pada kejelianmu
menjahit kata. Terpasung dalam sihir mantra yang terbuncah. Rima dan rasa lebih
derajat dari bernada. Rimba katamu menjelma buyar dalam darah yang beredar.
Dicumbu gemetar, tunduk faalku menciut.”
Menangkap nuansa dan jarak laju
Yang mengantara sinar dan cahaya cermin buku
Otakku penuh, huruf, nominal, ruas, puisi dan tetap mataku.
Lanjut Ke >>>BAG VI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar