Senin, 20 Agustus 2012

“Mistisisme Upanishad”


Dalam studi-studi pemikiran, corak pemikiran yang muncul di Timur memiliki ciri khas. Ciri utamanya adalah pendekatannya yang lebih spiritualis. Ia menekankan intuisi ketimbang rasio. Ciri seperti ini muncul di hampir semua sistem filsafat yang disebut sebagai filsafat Timur.
Tradisi sufisme akhirnya bisa ditemukan di hampir semua agama: Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lain-lain. Dalam filsafat, ia sering disebut sebagai filsafat hikmah. Di dunia Islam, para filsuf-mistisis terutama datang dari tradisi Persia.
Dalam sebuah tulisan, Saras Dewi menyatakan bahwa kitab Upanishad bisa dikatakan memuat sendi-sendi sistem filsafat Timur. Tradisi mistisisme Timur seringkali disebut mengatasi kekeringan yang ada dalam pemikiran orang modern.  Bicara mistisisme Timur tidak bisa dipisahkan dari pembicaraan mengenai Budhisme. Sang Budha sering dianggap meletakkan dasar bagi mistisisme Timur. Sang Budha memilih meninggalkan dunia. Anehnya, pilihan itu justru diambil sebagai respon terhadap fenomena ketidakadilan sosial yang ia temukan. Ini paradoks.  Pilihan sikap Sang Budha ini sering dijadikan contoh dan model bagi para sufi dan kaum mistikus. Banyak kritikan yang muncul bahwa sikap anti-sosial mereka sebenarnya kontra-produktif dengan kemajuan.
Kita menemukan bahwa tradisi mistisisme juga marak di dunia klasik Islam sampai sekarang melalui ajaran tasawwuf dan terlembaga dalam tarekat-tarekat. Apakah ada geneologi antara tradisi mistisisme Upanishad (Hindu) dan Budha dengan tradisi tasawwuf yang muncul di dunia Islam?
Salah satu tema penting dalam studi pemikiran, termasuk mistisisme, adalah soal konsep kebahagiaan. Bagaimana mistisisme Timur memandang kebahagiaan? Kaum mistis biasanya menawarkan untuk mengurangi keinginan sebagai solusi meraih kebahagiaan, sebab keinginan adalah sumber penderitaan. Apakah sikap semacam ini tidak justru menjerumuskan kita pada sikap fatalistis?
Pendekatan yang digunakan para sufi biasa disebut pendekatan esoterik atau yang menhunjam langsung ke inti masalah. Ini berbeda dengan pendekatan eksoteris yang bicara pada hal-hal permukaan. Cak Nur menganalogikan sebuah roda dengan jari-jarinya. Semakin mendekat ke axis atau poros roda, semakin dekat jarak antar jari-jari itu. Ibn Arabi mengemukakan konsep Wihdatul Adyan, penyatuan agama-agama. Apakah mistisisme Timur itu memang mengarah pada konsep penyatuan agama-agama? Penting sekali menelusuri jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini.

Tidak ada komentar: