Sepantasnya jika
sebuah nama disematkan kepada orok agar menjadi penunjuk harapan mulia. Setelah
remaja banyak hal yang tidak dimengerti dan membuatnya bertanya-tanya, yang
paling mengusik kenapa dia diberi nama Koprol. Beberapa sering kali bertanya justru yang
banyak diterima semprotan dan umpatan ayahnya. Untuk kesekian kali ia pun
bertanya kepada perempuan yang telah melahirkannya. Bahkan ibunya juga membisu
seperti pur yang dipatok ayam, lenyap tak bersuara. Tak ada yang memberitahu
alasan orang yang memberinya nama tersebut.
Nampak nyata
lambaian bayang daun yang terbelai-belai angin, seperti ritme lambai tangan
gadis yang sedang menikmati pergumulan dengan pria siapa saja. Irama itu seolah
mencela Koprol yang sedang berbingung dalam permenungan. “Tapi kenapa aku harus
memikirkan sejarah namaku, toh diganti pun bisa”, pikirnya.
Ia pun mengajukan
diri kepada kedua orang tuanya “aku harus ganti nama”. Tapi setelah demo
panjang lebar Ayahnya tidak setuju, “tidak semudah itu”. Koprol kembali lagi dalam
kursi menung, “Sepertinya harus aku sendiri yang memulai pengubahan namaku.
Tahun ini adalah saat mulai masuk Sekolah Menengah Atas, dan Ayah ingin
sekolahku di kota besar. Kuawali dari sini saja agar nanti bisa kupakai nama
baruku hingga aku kuliah dan sukses jadi pengusaha”, timang-timang pikirannya
mengawang.
“ingat, Prol..
kamu akan sukses dengan namamu” Ayahnya memberikan kata pelepasan untuk
kepergian Koprol ke kota. Koprol diantarkan Pakdhenya ke Jakarta, ia sangat
yakin Jakarta lah kota impian untuk mengubah namanya.
Di perjalanan ia amati beberapa anak-anak jalanan yang
memapah kotak berdawai ban bekas dengan lubang resonansi seadanya. Koprol
berusaha menemukan kesadaran “betapa beruntungnya aku”. Tapi ada yang
mengusiknya, kenapa anak-anak itu nampak sangat riang seakan air mata tak
pernah sekalipun meleleh dari sudut mata mereka. Dan mereka sangat girang
hingga berjungkir balik di atas trotoar.
“Pakdhe, kenapa mereka kelihatan gembira sampai jungkir
balik begitu?”
“O, itu, itu namanya koprol”
“koprol, Pakdhe?”
“iya, koprol”
“itu kan namaku, Pakdhe”
“memang, itu namamu, masa’ kamu ndak pernah koprol
jungkir balik gitu?”
“pernah sih Pakdhe.. hehe, o, itu namanya koprol ya
Pakdhe”
“lho ya iya”
“sekarang aku tahu”
Koprol tak peduli
lagi alasan kegirangan mereka. Yang ia aduk di kepala hanya terkaan-terkaan
perihal namanya. Apa mungkin pemberian nama itu karena ia dilahirkan terbalik
kaki yang keluar terlebih dahulu alias sungsang. Atau mungkin dulu ibunya atlet
balet. Atau bisa jadi karena istilah “koprol” sedang marak ketika dia lahir. Tapi
kenapa harus Koprol. Dan yang aneh lagi
kenapa Ayahnya berpesan seperti itu sebelum ia berangkat. Ia tak henti-henti
memutar bola-bola pikiran itu di otaknya, hingga sesekali bola-bola itu
bergesekan dan berbenturan sampai menghambur.
Serasa singkat
saja Koprol dan Pakdhenya tiba di tempat tujuan. Menyalami Budhe dan dua sepupu
yang masih balita, mandi, sajadah maghrib lantas menidurkannya. Tak sadar matahari
sisa subuh sudah memanjati jendela kamar. Koprol masih berkelimpungan, sementara
Pakdhe dan Budhenya tak tega membangunkan, karena Koprol terlihat sangat
kelelahan setelah perjalanan. Enggan tubuh dikompromikan dengan semangat nama.
Iya, Koprol masih terus meranjangi tubuhnya. Pelupuk mata hanya ingatan ketika
tertutup saat malam pertama ia di Jakarta.
Dinding yang
memampang angka-angka menunjuk angka sepuluh dengan sudut sembilan puluh
derajat arah duabelas. Searah dua orang berlenggang di halaman rumah Pakdhenya,
dua pengamen komplek yang mungkin profesional. Bagaimana jika mereka pengintai
yang hendak menyatroni rumah Padhenya. Ya.. siapa tahu, yang pasti itu tidak
mungkin prasangka Koprol, karena dia sedang dalam bawah sadar. Yang jelas dua
orang itu berbekal gitar sambil mengumbar suara parau. Toh dua orang itu sedah
berlalu dan menyambangi pintu lain. Kelana
yang berjalan dari rumah ke rumah menunggu uluran receh dari tangan-tangan yang
menjulur dari dalam pintu.
Keadaaan sekitar rumah-rumah
kiri dan kanan sangat lengang. Mungkin tinggal pembantu dan anjing penjaga yang
tersisa. Sedang pemilik rumah masing-masing telah sibuk di belakang meja kantor,
termasuk sang Pakdhe.
“Prol, bangun Prol…!” teriak Budhe Koprol, tanpa jawaban.
“Koprol, bangun, Jakarta menunggumu”
Mendengar kata Jakarta Koprol langsung bangkit. Dengan
langkah seribu ia menuju kamar mandi. Ia ganti shalat Isya’ dan Subuh lalu
meluncur ke ruang makan. Pandangannya
mencari-cari Pakhenya.
“Pakdhe mana, Budhe?”
“baru bangun kamu?, Pakdhemu sudah berangkat”
“berangkat kemana, Budhe?”
“ke kantor, besok kamu diantar sama Pakdhe ke sekolahmu”
“sekolahku jauh nggak, Budhe?
“satu kilo meter dari sini, nanti biar Pakdhemu yang
ndaftarkan”
Dalam beberapa hal
Koprol lebih suka melakukan sendirian. Iya, dia suka kesendirian. Tapi ada beberapa kegiatan yang ia rasa harus
dilakukan dengan orang lain, termasuk urusan mendaftarkan sekolah. Lagipula di
Jakarta, Pakdhenya lah yang menjadi orang tua walinya. Jam-jam berlalu, hingga
pendiriannya untuk hanya berdiam di rumah tergoyahkan. Ia putuskan untuk
berkeliling sekitar komplek. Dan lagi-lagi, sendirian. Setelah berjalan
beberapa meter, ia menemukan
sepi arena skateboard. Ia penasaran bagaimana rasanya berkoprol setelah itu
adalah pengalaman masa kecil yang mudah ia lupakan. Ia memang sudah lelah mencari jawaban dengan
bertanya. Kali ini ia ingin mendapatkan jawabannya sendiri.
“Trus gue harus
koprol sambil bilang wow gitu?!” apa istimewanya koprol hingga iklan pun
memakainya. Tapi tampaknya orang yang berkoprol di telivisi itu sedang
merayakan suatu yang menyenangkan seperti tingkah anak-anak jalanan yang ia
temui lalu. Dan ia pun paham, koprol atau lebih kelihatan berjungkir balik,
adalah sebuah ekspresi atau seleberasi kegembiraan seseorang. Paling tidak,
orang yang memberi nama untuknya punya tujuan agar Si Koprol selalu bahagia. Sebuah
jawaban yang cukup menghibur.
Hingga pertanyaan
selanjutnya tentang ada apa dengan pesan Ayahnya. Dan itu juga ia yang harus
menemukan sendiri jawabannya, mungkin nanti.
Yogyakarta, 12 Maret 2012
1 komentar:
read references, for the next starting point, let's:)
Posting Komentar