Selasa, 08 April 2014

Himne Penyair oleh Lia Sholicha Amien


Himne Penyair
Seorang disebut penyair karena memiliki kemampuan untuk mencipta puisi. Puisi dan penyair tidak bisa dipisahkan. Sebelum seseorang terjun ke dalam dunia kepenyairan, Penyair mula-mula harus berkenalan dengan makhluk yang disebut puisi. Perkenalan itu bisa berwujud pertanyaan, siapa itu puisi? ketika bersinggungan kira-kira apa yang akan dan bisa dilakukan penyair dengan makhluk itu?

Puisi adalah makhluk yang cerdas karena daya tampungnya mengangkat berbagai masalah. Hubungan penyair dan puisi ada yang mencakup aspek pribadi, social, agama, dan ada yang mencakup semua aspek yang ada. Kemampuan berbincang dengan puisi itu harus dibekali dengan perkenalan terhadap tokoh yang bernama puisi dan apa yang dilakukannya. Ada penyair yang baru melihat kulit puisi, ada yang sudah melihat dagingnya, ada yang melihat kerangkanya dan ada pula yang sudah melihat jantung puisi, dan melihat ruh puisi dalam keadaan tanpa jasad.

Sebelum memberi isi kepada puisi, sebagai perkenalan penyair menggambarkan posisi puisi itu untuk diri mereka sendiri. Dibacakan dan dihayati sesuai lamanya mereka berkenalan dan kekuatan menjangkau bagian tubuh mana dari puisi yang sanggup mereka sentuh. Jelas masing pribadi berbeda kadarnya.

Celoteh Puisi
Di padang gersang aku berjabat tangan
Dengan seorang puisi. Aku tanyakan namanya
Juga pekerjaan yang ia tekuni.

Aku adalah hamba waktu
Menampung sejarah menjadi kata-kata.

Bibirnya fasih berkisah: muasal bumi memadat dari gumpalan air,
Adam tergelincir dari tangga langit, di tangan Ibrahim tangis berhala menyeru terhunusnya pedang, lautan di tongkat Musa melahirkan jembatan bawah laut ke permukaan, Sulaiman menampung cerita percintaan tumbuhan, dan Muhammad, disini, menitipkan pembelaan terhadap kaum perempuan.

Sungguh, tutur puisi menghidupkan udara di sekelilingku. tiap katanya mendikte udara
Melahirkan kesan, semua tidaklah tiada. Nabi-nabi itu menyaksikan, puisi bercerita.

Himne Penyair
Lapangan ini, sebentar lagi mengadakan upacara.
Ia mengundang penyair berseragam sesuai usia
Berbaris dari tinggi ke rendah

Aku Bendera, duduk di dalam nampan.  Memilih perempuan cantik membopong diriku.
Kataku pada si empunya acara: “Sebelum dipajang, aku bersyarat, aku ingin melihat warna gincu gadis yang merah. Melirik-lirik apa antara kita sudah senada. Paling tidak, usaha harmoni itu adalah tanda bahwa aku menapak di tanah. Karena lagu puisi penyair yang akan dilantunkan mengiringi perjalanan, terlampau banyak ragamnya.

Saksi atau mata-mata? 
Aku adalah puisi yang dituliskan
Ditubuh-tubuh waktu,
Masa lalu dibalik punggung.

Aku adalah puisi yang bersiap menuliskan,
Intaian, bersama waktu membuktikan kejadian.
Di tubuh-tubuh waktu,
Masa depan di hadap dada menghadang.  

Tidak ada komentar: