Himne
Penyair
Seorang
disebut penyair karena memiliki kemampuan untuk mencipta puisi. Puisi dan
penyair tidak bisa dipisahkan. Sebelum seseorang terjun ke dalam dunia
kepenyairan, Penyair mula-mula harus berkenalan dengan makhluk yang disebut
puisi. Perkenalan itu bisa berwujud pertanyaan, siapa itu puisi? ketika bersinggungan
kira-kira apa yang akan dan bisa dilakukan penyair dengan makhluk itu?
Puisi
adalah makhluk yang cerdas karena daya tampungnya mengangkat berbagai masalah.
Hubungan penyair dan puisi ada yang mencakup aspek pribadi, social, agama, dan
ada yang mencakup semua aspek yang ada. Kemampuan berbincang dengan puisi itu
harus dibekali dengan perkenalan terhadap tokoh yang bernama puisi dan apa yang
dilakukannya. Ada penyair yang baru melihat kulit puisi, ada yang sudah melihat
dagingnya, ada yang melihat kerangkanya dan ada pula yang sudah melihat jantung
puisi, dan melihat ruh puisi dalam keadaan tanpa jasad.
Sebelum
memberi isi kepada puisi, sebagai perkenalan penyair menggambarkan posisi puisi
itu untuk diri mereka sendiri. Dibacakan dan dihayati sesuai lamanya mereka
berkenalan dan kekuatan menjangkau bagian tubuh mana dari puisi yang sanggup
mereka sentuh. Jelas masing pribadi berbeda kadarnya.
Celoteh
Puisi
Di padang gersang aku berjabat tangan
Dengan seorang puisi. Aku tanyakan namanya
Juga pekerjaan yang ia tekuni.
Aku adalah hamba waktu
Menampung sejarah menjadi kata-kata.
Bibirnya fasih berkisah: muasal bumi memadat dari gumpalan air,
Adam tergelincir dari tangga langit, di tangan Ibrahim tangis
berhala menyeru terhunusnya pedang, lautan di tongkat Musa melahirkan jembatan
bawah laut ke permukaan, Sulaiman menampung cerita percintaan tumbuhan, dan
Muhammad, disini, menitipkan pembelaan terhadap kaum perempuan.
Sungguh, tutur puisi menghidupkan udara di sekelilingku. tiap
katanya mendikte udara
Melahirkan kesan, semua tidaklah tiada. Nabi-nabi itu menyaksikan,
puisi bercerita.
Himne Penyair
Lapangan ini, sebentar lagi mengadakan upacara.
Ia mengundang penyair berseragam sesuai usia
Berbaris dari tinggi ke rendah
Aku Bendera, duduk di dalam nampan.
Memilih perempuan cantik membopong diriku.
Kataku pada si empunya acara: “Sebelum dipajang, aku bersyarat, aku
ingin melihat warna gincu gadis yang merah. Melirik-lirik apa antara kita sudah
senada. Paling tidak, usaha harmoni itu adalah tanda bahwa aku menapak di tanah.
Karena lagu puisi penyair yang akan dilantunkan mengiringi perjalanan, terlampau
banyak ragamnya.
Saksi atau mata-mata?
Aku adalah puisi yang dituliskan
Ditubuh-tubuh waktu,
Masa lalu dibalik punggung.
Aku adalah puisi yang bersiap menuliskan,
Intaian, bersama waktu membuktikan kejadian.
Di tubuh-tubuh waktu,
Masa depan di hadap dada menghadang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar