Baiklah,
kenyataan yang perlu kita ketahui adalah pertama-tama setelah lahir ke dunia
ini yang kita lakukan dalam hal perkenalan adalah usaha kita untuk mengenali
orang lain.
Ketika masih
bayi, kita belum paham siapakah sebenarnya perempuan yang menyusui kita setiap
hari. Tetapi dengan ketidakpahaman itu kita telah berusaha mengenali lalu
menyadari “perempuan yang itu yang biasanya menyusuiku (bukan yang itu atau
yang lain)”. Hingga akhirnya kita mengenal dan merasa dekat dengan dia. Sampai
kita akan benar-benar tahu dan paham bahwa dia (yang itu) adalah ibu kita.
Dengan kata lain pertama kali yang kita lakukan sebenarnya bukanlah usaha untuk
mengenali siapa diri kita, akan tetapi “siapa kau atau siapa dia”.
Alam bawah
sadar kita selalu memiliki kecenderungan untuk membaca keluar, artinya apa yang
ada di luar diri kita itulah yang kita lihat dan amati serta mempengaruhi kita.
Tetapi yang perlu kita perhatikan adalah, bahwa sifat alami seperti itulah yang
sebenarnya bisa kita gunakan dalam memahami sebuah mekanisme psikologis
seseorang dalam mempertahankan diri.
Benteng Perbandingan
Saya
kutipkan sebuah peribahasa “gajah di pelupuk mata tidak tampak, semut di
seberang lautan tampak”. Manusia memiliki kecenderungan atau lebih suka
meneliti kekurangan atau kesalahan orang lain. Dari sini bisa kita logikakan,
kebalikannya, manusia tidak suka diteliti kekurangan dan kesalahanya. Dan dari
sini pulalah mekanisme pertahanan diri ini bermula.
Nah, makna
peribahasa itu, dapat kita kembangkan, dalam mempertahankan diri manusia selalu
berusaha meneliti lingkungannya. Itu artinya kesibukan pikiran kita lebih
banyak untuk mengamati hal-hal tentang orang lain. Pengamatan yang kita lakukan
dengan proses memperbandingan. Hasil pengamatan dengan proses membandingkan itu
seringkali kita jadikan benteng pertahanan. Pertahanan untuk berlindung dari
serangan secara psikologis dari orang lain yang berusaha mengamati kita dan
berusaha menghakimi kita bahwa kita ini baik atau buruk. Tentu kita biasa
melakukan pengamatan seperti demikian ini di kehidupan kita.
Misalkan
ketika kita merasa kurang beruntung karena tampang kita yang kurang enak
dipandang. Dengan ketidakberuntungan dalam hal fisik tersebut lalu kita
mengamati orang lain yang lebih tidak beruntung daripada kita. Ambil saja
contoh, kita mengamati penyandang tunanetra, tunawicara, dan lain sebagainya.
Pengamatan itu kita jadikan kekuatan bagi jiwa kita untuk mendapatkan perasaan
bahwa kita lebih beruntung daripada mereka (orang-orang yang telah kita amati).
Atau kita gunakan bentuk pembentengan yang lain. Misalnya dengan mengamati
orang-orang dengan tampang yang kurang enak dipandang tapi justru menjadi
sukses lantaran tampang tersebut. Hingga kita berpikir “banyak orang yang nggak
ganteng, jelek seperti saya malah, tapi mereka juga bisa sukses". Itu
pengamatan dari segi fisik, dalam hal lain pun tentu kita pernah melakukannya.
Dus,
mekanisme pertahanan diri tiap individu memiliki caranya masing-masing. Karena
perbedaan itulah menimbulkan efek adanya seseorang itu dianggap baik atau
buruk. Bagaimana bisa? Saya akan uraikan di bawah ini.
Benteng Kebaikan
Sedekat atau
seakrab apapun kita dengan orang lain, bahkan termasuk dengan istri kita
misalnya, tentu kita tetap berusaha menjaga agar orang lain tersebut melihat
kebaikan kita. Hubungan kita dengan ayah, ibu, keluarga, guru, teman, rekan
kerja bagaimanapun halnya tetaplah kita akan berusaha menunjukkan
kebaikan-kebaikan atau kelebihan-kelebihan kita kepada mereka. Bahkan ketika
memperlihatkan rasa hormat kita kepada mereka sebenarnya juga termasuk dalam
kategori menunjukkan kebaikan kita.
Sikap ingin
menunjukkan kebaikan tersebut sangat alami dan tanpa kita sadari dari sikap
itulah kita membangun sebuah benteng pertahanan diri. Seseorang ketika
melakukan kebaikan, contoh sederhananya bersedekah. Pada dasarnya (sadar
ataupun tidak) seseorang bersedekah itu sedang membentengi diri secara
psikologis dengan sifat dermawan. Sifat dermawan itulah bentengnya, yang suatu
saat di dalam jiwanya, ketika dia sudah tidak lagi bersedekah dia akan
berlindung di benteng itu. Dengan lirih dalam pikirannya berdesir; “saya dulu
sudah banyak sedekah, saya sudah pernah menjadi ahli derma, saat ini saya
memang sedang tidak mampu bersedekah, tidak apa-apa lah saya tidak usah
bersedekah dulu”. Atau ketika sebenarnya dia mampu bersedekah tapi karena
enggan melakukan akhirnya dia tidak bersedekah dia akan berpikir; “sudahlah,
dulu aku sudah bersedekah, aku sudah cukup terlihat dermawan"
Dari contoh
di atas, dapat kita katakan, mekanisme pertahanan diri seseorang sebenarnya
adalah bagaimana orang itu meringankan gangguan kegelisahan dalam jiwanya.
Benteng Keburukan
Sebenarnya
di balik semua itu, mekanisme partahanan diri berbentengkan dengan "menunjukkan
kebaikan" sumbernya adalah rasa malu. Akan tetapi bisa saja seseorang
merasa tidak perlu lagi membentengi diri dengan kebaikan-kebaikan, rasa hormat
kepada orang lain, bahkan tidak ragu-ragu berbuat keburukan atau malah
kejahatan.
Dia merasa
tidak perlu lagi sungkan-sungkan dengan menunjukkan rasa hormat kepada orang
lain, merasa tidak perlu lagi dianggap dirinya baik oleh orang lain, bahkan
tanpa segan mencelakakan dan berbuat jahat terhadap orang lain. Karena dia
sudah tidak peduli dengan anggapan orang lain, apalagi malu.
Maka,
manusia tipe seperti ini pada dasarnya juga memiliki mekanisme pertahanan diri
dengan cara yang berbeda. Dia mempertahankan diri dengan menampakkan keburukan
dan kejahatan. Dengan dinding keburukan dan kejahatan itulah bentengnya
dibangun. Dia akan merasa hebat dan puas dengan melakukan keburukan-keburukan.
Dan dengan merasa bahwa dia hebat dan puas itulah benteng pertahanan psikologis
dirinya dibangun.
Kesimpulan
Pengetahuan
tentang mekanisme pertahanan diri ini akan menjadi kesadaran bagi tiap orang
jika telah memahaminya. Bahwa orang menjadi baik atau buruk itu sama-sama
memiliki alasan. Terkadang banyak orang yang dengan mudah menghakimi orang lain
bahwa orang ini baik dan yang itu buruk.
Akan tetapi
yang perlu kita pahami sebelum itu adalah bahwa setiap individu membutuhkan
sebuah pertahanan dimana dia akan memilih apa yang akan mendamaikan jiwanya.
Mendamaikan jiwa yang seringkali mengalami kegelisahan. Sering juga
pertentangan di dalam jiwa itu terjadi, ketika antara harapan dan apa yang
telah diterima tidak sesuai. Dari perselisihan harapan dan apa yang diperoleh
inilah lalu mulailah seseorang membangun benteng diri dengan cara
memperbandingkan. Dan hingga dua macam benteng itu terpilih oleh mereka.
Jiwa kita
ini terkadang sangat kerdil untuk menjadi manusia yang baik-baik dan menempuh
jalan yang lurus. Sehingga jiwa yang kerdil itu melenceng dan memilih jalur
yang buruk dan mencelakakan orang lain. Namun jiwa yang melenceng itu memang
membutuhkan benteng yang membuatnya merasa aman meskipun benteng itu berupa
keburukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar